Selasa 26 Apr 2022 14:53 WIB

Beda Klaim Mahfud dan MRP Soal Pemekaran Papua

MRP pertanyakan survei yang sebut pemekaran didukung 82 persen rakyat Papua.

Red: Indira Rezkisari
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menemui Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/4/2022). Pertemuan membahas rencana daerah otonomi baru atau pemekaran Papua.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menemui Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/4/2022). Pertemuan membahas rencana daerah otonomi baru atau pemekaran Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Antara

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menegaskan, rakyat Papua menolak pemekaran Provinsi Papua. Pernyataan pemerintah yang menyebut mayoritas rakyat Papua mendukung pemekaran Papua dan Papua Barat.

Baca Juga

"Rakyat Papua tentunya menolak untuk melakukan pemekaran, karena pemerintah masih melakukan moratorium untuk seluruh Indonesia, termasuk Papua," ujar Timotius di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/4/2022).

Ia juga mempertanyakan klaim Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang menyebut 82 persen masyarakat Papua mendukung pemekaran. Apalagi jika ada yang menyebut terdapat 354 permohonan pengajuan pemekaran wilayah.

"Ini kajian dari mana, kajian kapan dilakukan, dan siapa yang melakukan kajian itu aspirasi? Jadi saya berharap selaku pimpinan Majelis Rakyat Papua, (pemerintah mendengarkan) representasi dari kultur orang asli Papua," ujar Timotius. "Pemerintah pusat sesungguhnya harus mendengarkan aspirasi dari kami (MRP), karena kami adalah lembaga negara yang ada di daerah yang menyampaikan aspirasi masyarakat Papua," sambungnya.

Hari ini Timotius menyambangi gedung dewan bertemu dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Pertemuan untuk meminta DPR menunda pembahasan tiga rancangan undang-undang, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah.

"Masyarakat minta supaya pemekaran itu dipending atau ditunda, sampai dengan ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya kami menyampaikan aspirasi kepada Wakil DPR RI, karena beliau sangat merespons aspirasi yang disampaikan Majelis Rakyat Papua," ujar Timotius.

Aspirasi kedua adalah terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Namun, ia tak menyampaikan secara detail poin-poin apa saja yang disampaikan kepada Dasco terkait undang-undang tersebut.

"Oleh karenanya ini masalah yang sangat serius untuk dipending, sampai pemerintah mencabut moratorium baru sekaligus," ujar Timotius.

MRP sendiri telah mengajukan uji materiil terhadap UU Otsus Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 Ayat 2, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 Ayat 3, Pasal 68A, Pasal 76, dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional orang asli Papua.

Dalam petitumnya, pemohon juga meminta agar MK menyatakan Pasal 6A Ayat 1b dan Ayat 2, Pasal 6A Ayat 1b dan Ayat 2, Pasal 28 Ayat 1 dan Ayat 2 dan Ayat 4, Pasal 38 Ayat 2, Pasal 59 Ayat 3, dan Pasal 68A, dan Pasal 76 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Otsus Papua bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian, pemohon meminta agar MK menyatakan norma Pasal 6 Ayat 4 dan Pasal 6A Ayat 4 bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’.

"Pemerintah pusat sesungguhnya harus mendengarkan aspirasi dari kami (MRP), karena kami adalah lembaga negara yang ada di daerah yang menyampaikan aspirasi masyarakat Papua," ujar Timotius.

Sementara itu, Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid ikut mendampingi MRP menyampaikan aspirasinya kepada DPR. Ia menyampaikan, proses pemekaran Provinsi Papua melanggar tiga hak orang asli Papua.

"Pertama adalah hak atas informasi tentang rencana pemekaran daerah otonomi baru itu untuk apa. Kedua adalah hak untuk dimintai konsultasi dan ketiga adalah hak untuk dimintai persetujuan," ujar Usman.

Ia menegaskan, tiga hak tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dan DPR selama proses pemekaran Provinsi Papua. Jika tidak, keduanya akan dinilai sebagai pihak yang melanggar konstitusi karena mengesampingkan hak orang asli Papua.

"Ini sangat penting bagi orang asli Papua sebagai bagian dari masyarakat hukum adat yang diakui dalam konstitusi, khususnya Pasal 18b," ujar Usman.

Jika pemekaran provinsi tetap dipaksakan, ia khawatir potensi terjadinya eskalasi yang semakin tinggi di Papua. Mengingat mayoritas masyarakat di sana tegas menolak pembentukan DOB.

"Sudah ada dua orang tewas akibat dari demonstrasi penolakan pemekaran baru, seperti di Yahukimo. Kita tidak ingin kalau ini dipaksakan akan kembali jatuh korban warga asli Papua," ujar Usman.

Ia meminta pembentukan DOB tidak dipaksakan. Pemaksaan akan merugikan orang asli Papua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement