Selasa 26 Apr 2022 19:02 WIB

Ronda Malam Warga Pulau Sebesi Setelah Pijar Merah Krakatau Muncul

Warga Pulau Sebesi mulai ronda berjaga bila tsunami menerjang seperti 2018 lalu.

Red: Indira Rezkisari
Nelayan di Pulau Sebesi, Lampung. Lokasi Pulau Sebesi yang berjarak 19 km dari Gunung Anak Krakatau membuat warganya siaga pascakenaikan status gunung yang erupsi sejak beberapa hari lalu.
Foto: Republika/Mursalin Yasland
Nelayan di Pulau Sebesi, Lampung. Lokasi Pulau Sebesi yang berjarak 19 km dari Gunung Anak Krakatau membuat warganya siaga pascakenaikan status gunung yang erupsi sejak beberapa hari lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mursalin Yasland, Febrianto Adi Saputro, Antara

Pijar lava merah makin terlihat jelas dari Gunung Anak Krakatau (GAK). Letusan juga kian hari terdengar makin keras.

Baca Juga

Kondisi GAK sekarang sudah berubah status dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). Warga Pulau Sebesi yang jaraknya hanya 19 km dari GAK mulai khawatir.

Warga Pulau Sebesi takut kejadian Desember 2018 silam, ketika tsunami menerjang, kembali terjadi. Ronda malam warga pun kini digiatkan, mereka bergantian memantau kondisi gunung.

Berdasarkan keterangan warga Pulau Sebesi yang dihubungi Selasa (26/4/2022), bunyi letusan GAK terdengar keras oleh warga di Pulau Sebesi. Pijaran lava merah berapi yang memuncrat juga terlihat jelas oleh warga dari pulau tersebut terutama pada malam hari.

“Sekarang warga terpaksa harus ronda setiap malam secara bergantian,” kata Ana (26 tahun), warga Dusun III Regahan Lada, Desa Tejang, Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan.

Menurut dia, warga Pulau Sebesi bergantian memantau aktivitas GAK lebih dekat bersama Polhut BKSDA Lampung-Bengkulu di Gubuk Seng. Petugas Polhut mulai aktif memantau aktivitas GAK dengan mendirikan posko di Gubuk Seng.

Dari penelusuran Republika.co.id April 2018 lalu, Gubuk Seng nama tempat yang sejak lama terdapat tower mercusuar tempat pemantauan GAK. Gubuk Seng ini merupakan daerah terdekat dengan GAK tanpa ada penghalang pandangan mata. Warga biasanya dapat mengetahui jelas kondisi GAK lebih dekat di Gubuk Seng.

Saat terjadi gelombang tsunami akibat runtuhan kawah GAK pada 22 Desember 2018 lalu, kawasan Gubuk Seng menjadi daerah pertama terparah dihempas gelombang tsunami melebihi puncak pohon kelapa yang ada di sana.

“Gubuk Seng ini jauh dari kampung warga, tapi dapat lihat langsung letusan Gunung Anak Krakatau siang dan malam hari,” ujar Ana, anak tokoh masyarakat Pulau Sebesi.

Sedangkan Yusuf, tokoh masyarakat Pulau Sebesi juga mengatakan, kawasan Gubuk Seng hendaknya diaktifkan lagi untuk memantau aktivitas GAK, karena pemantauan di tempat tersebut lebih jelas dan tepat, sehingga informasi cepat sampai di masyarakat.

Saat ini, Pos Pemantau GAK berada di Desa Hargopancuran, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, sangat jauh dari Pulau Sebesi. Namun, ironisnya setelah dipindah Pos Pemantau dari Gubuk Seng ke Desa Hargopancuran, menara mercusuar yang masih berdiri di sana sudah terbengkalai tidak terurus lagi. Pos pemantau tersebut sudah banyak tumbuh rumput dan alang-alang liar.  

Kepala Badan Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai terjadinya potensi gelombang tinggi atau tsunami terutama pada malam hari. "Dengan meningkatnya level aktifitas GAK dari level II ke level III yang disampaikan PVMBG maka masyarakat diminta untuk waspada terhadap potensi gelombang tinggi atau tsunami terutama di malam hari," kata Dwikorita dalam konferensi pers secara daring, Senin (25/4/2022) malam.

Lebih lanjut Dwikorita menjelaskan bahwa alasan kewaspadaan perlu dilakukan pada malam hari karena pada malam hari sulit untuk melihat secara visual adanya gelombang tinggi. Berbeda kondisinya dengan di siang hari.

"Kalau di siang hari tentunya masih cukup untuk melihat hal tersebut," ujarnya.

Dwikorita mengimbau seluruh pengelola usaha dan pemerintah daerah serta masyarakat untuk bersiaga. Ia mengatakan hal tersebut bukan berarti waktunya melakukan evakuasi atau fase kedaruratan, namun siaga mempersiapkan evakuasi untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari kondisi tersebut.

"Jadi bukan pada level evakuasi, bukan sama sekali, tapi memberikan informasi ke semua pihak baik pengelola pelayaran, pengelola hotel ada pemerintah daerah, kepada masyarakat bahwa mulai siap siaga. Yang artinya misalnya sudah siapkan dan evakuasi, siapkan tempat evakuasi dicek, karena kalau lama nggak dipakai terakhir 2018, rambunya mungkin sudah pada hilang," ujar Dwikorita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement