Rabu 27 Apr 2022 14:04 WIB

Upaya Goncang Hak Veto Anggota Tetap DK PBB

Resolusi baru yang diajukan akan batasi hak veto AS, Rusia, China, Inggris, Prancis.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Perwakilan yang memberikan suara mendukung resolusi mengangkat tangan mereka selama pertemuan Dewan Keamanan PBB tentang invasi Rusia ke Ukraina, Jumat 25 Februari 2022 di markas besar PBB. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah pertama untuk menempatkan lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) mendapatkan sorotan setiap kali menggunakan hak veto.
Foto: AP Photo/John Minchillo
Perwakilan yang memberikan suara mendukung resolusi mengangkat tangan mereka selama pertemuan Dewan Keamanan PBB tentang invasi Rusia ke Ukraina, Jumat 25 Februari 2022 di markas besar PBB. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah pertama untuk menempatkan lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) mendapatkan sorotan setiap kali menggunakan hak veto.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah pertama untuk menempatkan lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) mendapatkan sorotan setiap kali menggunakan hak veto. Resolusi baru yang diajukan menempatkan pertimbangan untuk membatasi hak veto Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan Prancis.

Majelis Umum akan diminta untuk mengadakan debat tentang situasi yang dapat memicu hak veto di DK dalam waktu 10 hari kerja. Diskusi ini dapat menempatkan pemegang hak veto tetap memiliki kekuatan dan membiarkan banyak negara lain didengar.

Baca Juga

Duta Besar Liechtenstein untuk PBB, Christian Wenaweser merupakan sosok yang mempelopori resolusi tersebut dan pertimbangan ini telah berjalan selama dua tahun. Dia mengatakan bahwa resolusi itu bertujuan untuk mempromosikan suara semua yang bukan pemegang hak veto dan bukan anggota DK. Mereka masih bisa berpendapat tentang masalah perdamaian dan keamanan internasional karena itu mempengaruhi semua negara.

Dalam mempresentasikan resolusi kepada Majelis Umum pada Selasa (26/4/2022) pagi, Wenaweser menyinggung invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari dan kegagalan DK untuk mengambil tindakan. "Tidak pernah ada kebutuhan yang lebih kuat untuk multilateralisme efektif daripada hari ini, dan tidak pernah ada kebutuhan yang lebih kuat akan inovasi untuk mengamankan peran sentral dan suara PBB," ujarnya.

Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard menyebut resolusi tersebut sebagai langkah pertama menuju peningkatan dari penggunaan veto. Meski dia menyadari, hasil yang diinginkan tidak akan cepat didapatkan.

Terdapat 80 negara yang mendukung resolusi tersebut, termasuk dua anggota tetap DK, AS dan Inggris. Namun, resolusi ini pun memiliki penggugat meskipun tidak melanggar konsensus, beberapa negara itu termasuk Rusia dan sekutu dekat Belarus, serta anggota DK terpilih saat ini Gabon dan India, serta negara-negara anggota PBB lainnya.

Reformasi DK yang tertuang di bawah Piagam PBB untuk memastikan perdamaian dan keamanan internasional telah diperdebatkan selama lebih dari 40 tahun. Ada dukungan luas untuk pembenahan dalam mencerminkan realitas global saat ini daripada struktur kekuatan internasional setelah Perang Dunia II pada 1945, saat PBB dibentuk. Hanya saja persaingan antara negara dan wilayah telah menghalangi semua upaya untuk mencapai kesepakatan mengenai ukuran, komposisi, dan kekuasaan DK yang diperluas.

Menurut catatan PBB, lebih dari 200 proposal DK yang berbeda telah diveto, beberapa oleh beberapa negara. Subjeknya berkisar dari Perang Korea dan konflik Israel-Palestina hingga perubahan iklim, pelaporan stok senjata, dan tata kelola sebagian dari negara Komoro di Samudra Hindia. Rusia sejauh ini telah memberikan veto paling banyak, diikuti oleh AS. Sedangkan lebih sedikit veto yang diberikan oleh Inggris, China, dan Prancis.

Wakil duta besar AS Richard Mills mengatakan setelah pemungutan suara bahwa AS sangat terganggu oleh pola Rusia yang menyalahgunakan hak vetonya selama dekade terakhir. Dia mengutip resolusi yang diveto mulai dari merujuk Suriah ke Pengadilan Kriminal Internasional, memprotes aneksasi Rusia atas Semenanjung Krimea, dan menuntut Rusia segera menghentikan invasi ke Ukraina.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement