Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfiah Hasna

Kemeriahan Menyambut Sahur Tempo Doeloe

Sejarah | Saturday, 30 Apr 2022, 13:33 WIB
Ilustrasi kemeriahan membangunkan sahur zaman dulu (Sumber: ANTARA Foto/Yulius Satria W.)

“Sahur sahurrr.” Begitulah suara yang senantiasa dilantunkan khusus di bulan suci Ramadan. Mulai yang muda hingga tua, semua menyambut dini hari dengan semangat membangunkan sahur. Mendekati Hari Raya Idul Fitri, menyadarkan masyarakat jika riuh ini tak akan terdengar lagi hingga Ramadan tahun depan. Kelompok pembangun sahur perlu menahan aksinya hingga saat itu.

Tradisi membangunkan sahur, sebetulnya sudah ada di Indonesia sejak zaman dulu. Dengan berbekal alat bunyi-bunyian seperti beduk dan kentongan, kelompok pembangun sahur siap memecah kesunyian malam. Yamin (56) salah satunya. Pria yang kerap dipanggil dengan sapaan Babe, sudah aktif ikut kegiatan membangunkan sahur sejak kanak-kanak di daerah Jati Padang, Jakarta Selatan.

“Wah pokoknya lebih seru, lebih meriah, beda sama zaman sekarang.” Begitu kalimat pertama yang menggambarkan perasaan Babe Yamin dengan senyum merekah ketika ditanya suasana membangunkan sahur tempo dulu. Tanpa alarm di smartphone, jika jam menunjukkan pukul 2.00 dini hari, mata langsung terbelalak dan berangkat menuju masjid setempat.

Di Jakarta, tradisi membangunkan sahur disebut ngarak beduk atau beduk sahur. Disebut demikian sebab masyarakat menggunakan beduk untuk membangunkan sahur dengan cara keliling kampung. Zaman dulu, beduk digunakan sebagai alat komunikasi, menandakan waktu, sekaligus memberi peringatan. Selain beduk, masyarakat juga menggunakan kentongan sebagai alat komunikasi sekaligus jadi alat musik pembangun sahur. Menurut Babe Yamin, di beberapa daerah juga dilakukan pawai obor atau disebut colen oleh masyarakat sekitar, sebab keberadaan listrik masih langka kala itu.

Sebelum membangunkan orang sahur, dilakukan tadarus al-quran secara rutin sejak tengah malam. Biasanya kelompok pembangun sahur akan beraksi mulai pukul 2 hingga 3 dini hari dengan keliling kampung. Di beberapa tempat, nama peserta pembangun sahur akan ditulis di pos ronda. Tujuannya agar tahu siapa saja yang akan berpartisipasi dan menunggu satu sama lain. Dibanding sekarang, kelompok pembangun sahur dulu lebih banyak jumlahnya. “Dulu mah tiap masjid pasti ada, kadang kita ketemu terus keliling bareng,” ucap Babe Yamin bernostalgia.

Selain suara ramai kelompok pembangun sahur, toa masjid membantu masyarakat menunjukkan waktu. Mulai waktu sahur, beberapa menit menjelang waktu subuh, hingga bunyi adzan subuh itu sendiri. “Waktu menunjukkan 30 menit menjelang waktu subuh, ya gitu lah dulu kalo gak salah.” Meski bising, jarang ada masyarakat menolak kelompok pembangun sahur dan riuh toa masjid. Walau sesekali, pasukan pembangun sahur juga merasakan dimaki warga.

Berbeda dengan sekarang, irama yang digunakan dalam membangunkan sahur zaman dulu dinilai lebih merdu dan rapi. Lantunan lagu, “bangunin sahur diomelin, gak dibangunin kesiangan,” atau “sahur sahur, ibu-ibu bapak-bapak yuk kita bagun sahur,” jadi irama yang paling sering dinyanyikan anak zaman sekarang khususnya di Jakarta. Babe Yamin mengatakan, ini terjadi sebab industri musik mulai berkembang sehingga irama sudah beraneka ragam, berbeda dengan zaman dulu yang kadang hanya menggunakan satu irama saja.

Selepas membangunkan orang-orang sahur, giliran kelompok pembangun sahur menyantap sahur. Sahur dilakukan di rumah masing-masing, lain dengan waktu berbuka yang dilakukan di masjid. Beberapa ada juga yang memilih menyantap sahur di masjid, atau hanya melanjutkan tadarus hingga waktu subuh tiba. Jika sudah memasuki waktu subuh, orang akan bergegas ke masjid termasuk anggota pembangun sahur.

Orang dulu mah banyak pengangguran

Ilustrasi anak-anak sedang mengaji (Sumber: ANTARA Foto/Fakhri Hermansyah)

Ketika Babe Yamin melakukan beduk sahur di sekitar tahun 1975, masih sedikit anak-anak yang bersekolah. Kebanyakan dari mereka hanya mengaji di Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA/TPQ) sebagai ganti sekolah. Mereka yang bersekolah biasanya akan pulang ke rumah lebih cepat usai membangunkan sahur. Terkadang, ada pula beberapa siswa yang tertidur di kelas.

Selain beduk sahur, rupanya tradisi keliling kampung sambil membawa obor, kentungan, dan beduk masih dilakukan selama kurang lebih satu bulan setelahnya untuk memeriahkan lebaran. Di malam takbiran pun masyarakat berbondong menuju Monumen Nasional (Monas) dengan menaiki mobil bak terbuka sambil membawa obor. “Orang zaman dulu mah banyak yang pengangguran, makanya mereka seneng gini-ginian,” ucap Babe Yamin sambil terkekeh ringan.

Berbeda dengan dulu, kini teknologi semakin maju. Alat musik beduk mulai kehilangan eksistensinya dan tergantikan oleh drum. Lebih praktis dan ringan menjadi sebabnya. Pertumbuhan jumlah penduduk serta alat komunikasi modern mengakibatkan pasukan pembangun sahur pun mulai berkurang jumlahnya.

Hal paling berkesan dari tradisi membangunkan sahur ala zaman dulu menurut Babe Yamin adalah rasa kekeluargaan, kebersamaan, tenggang rasa, dan gotong royong. Meski masih ada, kini mulai mengendur seiring zaman. Oleh karenanya, tradisi membangunkan sahur zaman dulu lebih meriah dibanding saat ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image