Jumat 06 May 2022 12:26 WIB

Asia Tenggara Berkomitmen Percepat Pemberantasan Malaria pada 2030

WHO memperkirakan kasus Malaria pada 2020 di Asia Tenggara berkisar 5 juta pasien.

Red: Nidia Zuraya
(Illustrasi) Nyamuk Anophles, penular Malaria
(Illustrasi) Nyamuk Anophles, penular Malaria

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara di wilayah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Asia Tenggara memperbarui komitmen percepatan pemberantasan malaria pada tahun 2030, kata seorang pejabat WHO."Negara-negara di wilayah WHO Asia Tenggara menjanjikan tindakan yang dipercepat dan upaya yang lebih besar di tingkat sub-nasional dan masyarakat," kata Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara Dr Poonam Khetrapal Singh melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (6/5/2022).

Pembaruan komitmen itu dilakukan pada Kamis (5/5/2022) melalui agenda seminar virualbertajuk "Malaria, High Burden to High Impact", di New Delhi, yang diikuti para menteri kesehatan, WHO, dan pakar kesehatan.

Baca Juga

Ia mengatakan komitmen yang diperbarui menuntut upaya yang lebih besar pada strategi yang telah terbukti efektif menanggulangi Malaria. Tata kelola tindakan menuju eliminasi Malaria dilimpahkan ke tingkat sub-nasional dan masyarakat.

Poonam mengatakan komitmen itu menyerukan untuk segera meningkatkan strategi yang lebih baru dan inovatif seperti investasi baru, pendekatan pengendalian vektor, diagnostik, obat antimalaria, dan alat lain untuk meningkatkan kemajuan melawan Malaria. Kasus Malaria di Asia Tenggara pada 2020, kata Poonam, mengalami penurunan terbesar jika dibandingkan dengan wilayah WHO lainnya di dunia.

WHO memperkirakan jumlah kasus pada periode saat itu berkisar 5 juta pasien atau 80 persen lebih rendah dari 2010. Sementara perkiraan angka kematian pada 2020 mencapai 8.900 jiwa yang juga lebih rendah 77 persen dibanding situasi 2010.

Dikonfirmasi secara terpisah, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan Indonesia menjadi negara dengan beban kasus Malaria kedua terbanyak di kawasan Asia Tenggara, sesudah India.Tjandra yang juga menjadi pembicara pada Seminar WHO Asia Tenggara "Malaria, High Burden to High Impact" menyampaikan tentang eliminasi sub nasional Malaria, di mana pada 2021 sudah 347 kabupaten yang sudah eliminasi Malaria.

Targetnya pada 2028 seluruh kabupaten dan 2029 seluruh provinsi di Indonesia mencapai status eliminasi malaria. "Sehingga 2030 Indonesia dapat dinyatakan sebagai negara di mana Malaria sudah tereliminasi, sebagaimana juga target SDG bahwa epidemi Malaria bersama dengan Tuberkulosis dan HIV/AIDS akan selesai pada 2030," katanya.

Tjandra mengatakan eliminasi Malaria dilakukan bertahap, Jawa Bali pada 2023, Sumatra Sulawesi dan NTB pada 2025, Kalimantan dan Maluku Utara pada 2027, Maluku dan NTT pada 2028 serta Papua dan Papua Barat pada 2029."Walaupun sekarang ada upaya agar semua target ini dapat dipercepat," katanya.

Ia mengatakan tiga strategi pengendalian Malaria di Indonesia meliputi akselerasi pada daerah endemik tinggi, intensifikasi pada endemik moderat, dan eliminasi pada daerah endemik rendah dan pemeliharaan untuk mencegah reintroduksi kasus pada daerah yang sudah bebas Malaria."Tanah Papua memang merupakan tantangan berat, 80 persen kasus Malaria dan 45 persen kematian akibat malaria terjadi di tanah Papua," katanya.

Selain berbagai program yang sudah dilakukan, Tjandra juga mendorong pengembangan vaksin Malaria yang baru di tanah Papua.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement