Rabu 11 May 2022 09:59 WIB

Beranjak dari Desa Berharap Kecipratan Kemilau Jakarta

Jutaan pemudik telah kembali ke tanah rantau, pendatang baru juga mengikuti.

Red: Joko Sadewo
Sejumlah pemudik menunggu bus di terminal bayangan, Simpang Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (9/5/2022). Pada arus balik Lebaran H+6 pemudik dari wilayah Sukabumi, Cianjur dan Bogor yang ingin kembali ke Jakarta mulai memadati terminal bayangan di kawasan tersebut.
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya/pras.
Sejumlah pemudik menunggu bus di terminal bayangan, Simpang Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (9/5/2022). Pada arus balik Lebaran H+6 pemudik dari wilayah Sukabumi, Cianjur dan Bogor yang ingin kembali ke Jakarta mulai memadati terminal bayangan di kawasan tersebut.

Oleh : Christianingsih, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Idul Fitri telah usai. Jutaan pemudik telah kembali ke tanah rantau untuk kembali mengais rezeki. Jakarta yang menjadi salah satu kota utama bersandarnya para perantau juga bersiap menerima tamu-tamu baru.

Mereka adalah orang-orang yang rela meninggalkan kampung halamannya demi bekerja di Ibu Kota. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Budi Awaluddin memperkirakan jumlah pendatang baru ke Jakarta akan mencapai 20 ribu hingga 50 ribu orang usai libur Lebaran 2022.

Pendatang baru sebanyak itu dipicu beberapa faktor, salah satunya kasus Covid-19 di Ibu Kota yang semakin terkendali. Selama 2022, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI memperkirakan akan ada tambahan penduduk pendatang mencapai hingga 180 ribu orang.

Badan Pusat Statistik mencatat pada September 2020, DKI Jakarta yang luasnya 661,5 km persegi adalah tempat tinggal bagi 10,56 juta jiwa. Sebanyak 28,76 persen atau sekitar 3,04 juta jiwa terkonsentrasi di Jakarta Timur. Jakarta Barat menempati posisi kedua dengan persentase 23,05 persen atau 2,43 juta jiwa.

Jakarta tak hanya tentang gaji selangit di perkantoran elite, lampu-lampu temaram dari gedung pemanjat langit saat malam, atau belanja sepuasnya sampai bokek di mal mahal. Denyut nadi Jakarta juga diisi sejuta permasalahan khas perkotaan.

Jakarta tak selamanya berkilau. Permukiman kumuh, banjir, macet, polusi, hingga tingginya angka kriminalitas adalah risiko nyata dari makin membengkaknya jumlah penduduk Ibu Kota.

Hijrah ke Jakarta berarti meninggalkan sejuknya udara perdesaan dan diganti menghirup udara kaya karbon monoksida. Merantau ke Jakarta siap-siaplah meninggalkan rumah bertanah lapang berganti kontrakan sepetak di kawasan padat penduduk.

Kebijakan pemerintah provinsi di era Gubernur Anies Baswedan saat ini memang berbeda jika dibandingkan para pendahulunya. Jika Ali Sadikin hingga Fauzi Bowo berupaya menekan urbanisasi, Anies memilih membuka lebar-lebar pintu Jakarta karena menurutnya setiap orang berhak untuk tinggal dan mencari nafkah di mana pun, termasuk Jakarta.

Pelonggaran itu diprediksi akan menciptakan lonjakan urbanisasi. Tidak bisa tidak, pemprov harus menyiapkan strategi agar kehadiran perantau tak menambah beban bagi Jakarta.

Meminjam kalimat Jokowi saat ia duduk jadi gubernur DKI, Jakarta nggak mungkin dipagari. Nyaris tidak mungkin melarang orang pergi ke Jakarta. Walau sarat problema, kota ini tetap menjadi magnet bagi banyak orang dari dulu hingga sekarang.

Maka dari itu, bagi yang berniat mengadu nasib ke Jakarta susunlah rencana dengan matang dan bekali diri dengan ketrampilan yang memadai sebelum menantang Ibu Kota. Jangan sampai cita-cita memperoleh penghidupan ujung-ujungnya hanya menambah angka pengangguran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement