Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Belajar Bersyukur dan Mengakui Kebaikan

Agama | Monday, 16 May 2022, 19:41 WIB

Seorang anak kecil menangis, masalahnya ia kehilangan uang sepuluh ribu rupiah. Uang jajannya yang semula tiga puluh ribu rupiah menjadi berkurang, tinggal dua puluh ribu rupiah.

Sang ibu yang mengetahui kejadian tersebut segera menggantinya. Ia memberi uang pengganti lima puluh ribu rupiah. Setelah menerima uang pengganti, sang anak bukannya berhenti menangis, tapi menangisnya semakin keras diiringi dengan marah-marah, dan menggerutu.

Sang ibu menjadi heran. Kemudian ia bertanya, “Nak, kok nangisnya malah makin keras dan marah-marah. Tak senang uangnya ibu ganti?”

“Coba kalau uangku tak hilang sepuluh ribu, pasti uangku jadi delapan puluh ribu rupiah.” Jawabnya dengan muka kecut.

Mendengar jawaban buah hatinya seperti itu, sang ibu cuma tersenyum simpul. “Maklum anak-anak. Pikiranmu masih sempit, sayang.” Gumam sang ibu sambil mengelus-elus kepala sang anak.

Lain lagi cerita. Seorang guru yang bijak memperlihatkan selembar kertas HVS putih kepada murid-muridnya. Tak ada seorang murid pun yang nyeleneh, mereka sepakat menjawab kertas tersebut berwarna putih.

Tanpa berbicara, kemudian sang guru duduk. Diambilnya sebuah spidol hitam dan menorehkan sebuah titik hitam yang tak terlalu besar di sudut kertas HVS putih tadi. Kemudian ia memperlihatkan kembali kertas yang bernoda hitam tersebut.

Berbeda dengan jawaban pertama, kini para murid berbeda-beda jawabannya. Ada yang mengatakan kertas tersebut berwarna putih, ada yang mengatakan putih, tapi sayang ada noda hitamnya, dan ada pula yang mengatakan hitam. Perbedaan tersebut terjadi karena mereka berbeda sudut pandang dalam melihatnya.

Terdapat pelajaran yang dapat kita ambil dari dua cerita tersebut. Pertama dalam memandang nikmat, kita terkadang bersikap seperti seorang anak yang kehilangan uang. Lebih banyak memperhatikan dan mengingat sesuatu yang telah hilang, kemudian kita menyesali diiringi perasaan menggerutu. Kita sering menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan Allah.

Sejatinya kita harus mengakui, apapun yang ada pada diri kita, baik harta benda, ilmu, jabatan, bahkan nyawa sekalipun adalah titipan Allah. Kewajiban kita hanya memelihara dan memanfaatkan titipan tersebut sesuai amanat dari Sang Penitip. Kewajiban lainnya adalah bersyukur, karena kita telah dipercaya menjadi seorang hamba yang dititipi barang berharga.

Ciri orang yang bersyukur, ia tidak akan memandang besar kecilnya sesuatu yang dititipkan kepada dirinya, namun ia akan memandang betapa besarnya penghormatan dan kepercayaan Sang Penitip kepada dirinya. Ia menerima segala keputusan Sang Penitip.

Ia tak meminta lebih, tapi merasa cukup dengan titipan yang ia miliki. Ketika barang titipan tersebut hilang, ia akan kembali mengadukannya kepada Sang Penitip tanpa perasaan menggerutu, marah-marah, putus asa, apalagi sampai menyalahkan kepada Sang Penitip.

Dalam ajaran Islam, menerima titipan apapun dari Sang Penitip, Allah swt, dan merasa cukup dengan titipan-Nya disebut qanaah. Sikap ini akan melahirkan sikap bersyukur dengan apapun yang ada pada dirinya, dan sabar ketika kehilangan apapun yang ada pada diri dan sekitarnya. Ia pun yakin sekali, apa yang hilang dari dirinya akan datang penggantinya dalam bentuk lain.

Jalaludin Rumi, seorang ulama sufi berkata. “Apapun yang kita berikan dari harta kita kepada orang lain, dan apapun yang hilang dari diri kita, sebenarnya tidak berkurang atau hilang, tapi ia akan kembali kepada diri kita dalam wujud lain yang lebih baik.”

Berkenaan dengan qanaah dan sabar ketika kehilangan sesuatu yang kita cintai, Ibnu Abbas r.a mengingatkan kita akan sebuah do’a dari Rasulullah saw.

“Ya Allah! Cukupkanlah aku dengan segala rizki yang telah Kau titipkan kepadaku, dan berilah aku keberkahan di dalamnya, serta berilah aku ganti dengan sesuatu yang lebih baik dari setiap sesuatu yang hilang dariku” (Dr. Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir fi al Aqidah wa al Syari’ah, Juz 7 : 548).

Pelajaran kedua adalah belajar melihat kebaikan dari setiap orang. Selain Nabi dan Rasul, manusia biasa seperti kita berpotensi melakukan perbuatan baik dan buruk.

Kaidah umumnya, sebaik apapun seseorang, pasti dalam dirinya terdapat kekurangan dan berpotensi berbuat kesalahan. Sejahat apapun perilaku seseorang, dalam dirinya pasti masih ada nilai kebaikan meskipun hanya sebesar biji sawi.

Permasalahnnya, tergantung kepada sudut pandang kita, seperti para murid yang melihat kertas bernoda hitam tadi. Sudut pandang mana yang akan banyak kita gunakan, sudut pandang kebaikan, kekurangan, atau kesalahan.

Diakui atau tidak, kita sering terjebak dengan pribahasa, “hujan sehari menghapus kemarau setahun”. Padahal makna dari pribahasa ini mengajarkan kepada kita untuk berhati-hati dalam berucap dan bertindak, jangan menodai diri dengan ucapan dan perilaku tak terpuji.

Di hadapan Allah, nilai-nilai kebaikan yang pernah dilakukan seseorang tak akan terhapus selama ia ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya. Ketika ia berbuat dosa, kemudian bertobat, maka kebaikan yang pernah dilakukannya akan kembali bertambah dengan tobatnya tersebut.

Dalam hadits riwayat Ahmad diceritakan, kelak ketika seorang hamba diadili di hadapan Allah, tak akan ada satu amal pun yang terlewat dari pemeriksaan-Nya. Sampai suatu ketika ada seseorang yang kebaikannya hampir habis, dan yang tertinggal hanya dosa-dosanya. Namun, Allah memperlihatkan suatu kebaikan yang sudah hampir orang tersebut lupakan.

Kebaikan tersebut tiada lain adalah ucapan dua kalimah syahadat atau keislamannya. Akhirnya dengan dua kalimah syahadat tersebut ia selamat dari ancaman api neraka. Timbangan kebaikan dua kalimah syahadat lebih berat daripada dosa-dosanya.

Allah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana terus menggali kebaikan setiap hamba-Nya sebelum ia diputuskan menjadi ahli neraka. Lalu bagaimana dengan kita sebagai hamba-Nya?

Kesombongan merasa diri menjadi yang terbaik selalu menguasai diri. Kita lebih sering memvonis seseorang sebagai orang yang jelek, nihil dari kebaikan, sekalipun orang tersebut pernah berjasa dan bertahun-tahun berbuat baik kepada kita. Masalahnya, pada suatu saat, ia pernah berbuat kejelekan kepada kita. Padahal, ia melakukannya hanya satu kali. Dengan perbuatan jelek yang hanya satu kali tersebut kita telah berani menghapuskan nilai-nilai kebaikan orang tersebut kepada kita.

Selayaknya kita belajar bijak menilai orang, melihat sisi kebaikannya, dan mengambil pelajaran dari perbuatan jelek yang pernah dilakukan orang tersebut. Kita harus belajar meyakinkan diri, terdapat perbuatan baik dalam diri setiap orang.

Jalaluddin Rumi memberi wejangan analogis yang maknanya begitu mendalam. “Janganlah kau seperti Iblis, hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam.”

Ilustrasi : Rizki (sumber gambar : https://republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image