Rabu 18 May 2022 00:30 WIB

Tahanan Suriah Bebas dengan Setoran Uang Meski Ada Aturan Amnesti

Rezim Assad menggunakan arsip tahanan sebagai alat pemerasan

Red: Esthi Maharani
 Seorang tahanan di Suriah yang menjadi sasaran penyiksaan selama tiga tahun mengatakan rezim Assad menggunakan
Seorang tahanan di Suriah yang menjadi sasaran penyiksaan selama tiga tahun mengatakan rezim Assad menggunakan "arsip tahanan" sebagai alat untuk memeras uang.

REPUBLIKA.CO.ID., DEIR EZ ZOR -- Seorang tahanan di Suriah yang menjadi sasaran penyiksaan selama tiga tahun mengatakan rezim Assad menggunakan "arsip tahanan" sebagai alat untuk memeras uang.

Mohammed Shilash, yang berasal dari kota Sor, provinsi Deir Ez-Zor, memutuskan untuk meninggalkan negara itu untuk bekerja di Lebanon pada 2019 setelah situasi keuangannya memburuk akibat perang.

Berencana menyeberang ke Lebanon tanpa tertangkap asukan rezim, Mohammed dan teman-temannya membuat kesepakatan dengan penyelundup manusia.

Namun mimpinya pergi ke Libanon sia-sia dengan penangkapannya oleh pasukan rezim di titik pertemuan dengan pedagang manusia di ibu kota, Damaskus.

Setelah rekaman "Pembantaian Tadamon" yang dilakukan oleh pasukan rezim Assad muncul pada bulan April tahun ini, rezim Assa mengumumkan hukum amnesti.

Dinas intelijen militer Suriah melakukan pembantaian di lingkungan Tadamon, Damaskus pada April 2013, dan warga Palestina termasuk di antara 41 korban.

Anggota Cabang 227 memaksa warga sipil lari ke kuburan massal sambil menembaki mereka.

Mereka yang terbunuh dalam pembantaian itu tampaknya loyalis Suriah yang dibunuh untuk mengancam penduduk setempat agar tidak bergabung dengan pemberontak.

Rezim Assad, yang menahan setidaknya 132.000 warga Suriah di penjara, hanya membebaskan 476 orang sesuai dengan undang-undang baru, menurut Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah (SNHR).

'Saya dituduh warga Irak'

Setelah memperoleh kebebasannya dengan memberikan suap meskipun ada amnesti, Mohammed mengatakan mereka ditahan di penjara rezim selama tiga tahun tanpa tuduhan apa pun.

"Kami pikir kami akan bebas dalam dua hari ... Mata kami ditutup. Mereka menempatkan kami di sel tunggal. Kami ketakutan. Saat itu, kami menyadari bahwa kami telah jatuh ke tangan al-Muhabarat (Direktorat Intelijen Umum),” katanya kepada Anadolu Agency.

Dia mengatakan membawa kartu identitas salah satu kerabatnya yang lebih muda untuk menghindari direkrut secara paksa ke dalam jajaran pasukan rezim jika terjadi penangkapan.

Selama interogasi, Mohammed mengatakan dia menceritakan semuanya karena takut dan akhirnya mengakui kartu identitas itu bukan miliknya.

“Masalah identitas memperburuk keadaan. Mereka menuduh saya orang Irak. Setelah itu, penyiksaan dimulai. Akibat penyiksaan, saya mengakui semua yang mereka inginkan. Saya menjadi sasaran pemukulan dan penyiksaan selama sekitar satu setengah bulan. Saya menjadi sasaran penghinaan dan kutukan yang tak terkatakan,” kata dia.

'Penganiayaan biasanya terjadi setelah tengah malam'

Dipindahkan ke penjara di Damaskus sekitar satu setengah bulan setelah penahanan pertamanya, Mohammed berkata: "Saya dibawa ke bangsal dengan lebar tiga meter (9,84 kaki) di penjara. Ada banyak orang di bangsal kecil. Tidak ada tempat duduk. Dua hari kemudian, kami dipindahkan ke sel tunggal,” tambahnya.

“Kami tidak punya hak. Mereka menyiksa tanpa pertanyaan. Kami digantung di langit-langit dengan tangan terikat. Ini adalah penyiksaan terburuk.

"Sementara kami dalam keadaan ini, mereka akan menyiram kami dengan air dan memukul kami. Penganiayaan biasanya terjadi setelah tengah malam."

Dia mencatat bahwa penyiksaan berlanjut selama berbulan-bulan. "Kami tidak bisa pergi ke toilet. Kami harus buang air di tempat kami ditahan."

"Kami akan dibiarkan lapar. Mereka akan memberi tiga buah zaitun dan sepotong roti. Mereka hanya memberi keju seminggu sekali dan mereka akan mengotorinya juga."

'Mereka tidak akan memindahkan mayat sampai mereka membusuk'

Mohammed mencatat tahanan terus-menerus jatuh sakit di penjara karena kondisi buruk dan layanan kesehatan yang tidak memadai.

“Puluhan orang meninggal karena penyiksaan, penyakit, dan kotoran,” ucap Mohammed.

"Mereka tidak akan mengeluarkan mayat sampai mereka membusuk. Mereka biasa menghilangkan sebagian besar mayat dengan cara dibakar. Ketika saya menyaksikan semua ini, saya pikir saya akan mengalami nasib yang sama seperti mereka. Saya tidak pernah berpikir saya akan bebas," terang Mohammed.

Membandingkan penjara dengan "rumah jagal", dia mencatat bahwa pembantaian terjadi di ruang bawah tanah rezim.

Mohammed mengatakan keluarganya memindahkannya ke Penjara Pusat Adra di Damaskus dengan membayar banyak uang.

"Saya ditahan di sana selama sekitar enam bulan. Penjara Pusat Adra lebih baik dari Sednaya. Saya seperti melarikan diri dari neraka," imbuh dia.

Mohammed mengatakan apa yang disebut undang-undang amnesti yang diumumkan oleh rezim Assad sekitar dua minggu lalu hanyalah permainan.

"Terakhir, amnesti dikeluarkan, tetapi meskipun demikian, keluarga saya membayar jutaan lira Suriah untuk pembebasan saya."

"Mereka yang bertanggung jawab atas penjara telah mengubah situasi kami menjadi bisnis. Mereka memeras banyak uang dari keluarga," pungkas Mohammed.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement