Rabu 18 May 2022 16:02 WIB

Dokter dan Klinik Mata di Surabaya Diwajibkan Bayar Ganti Rugi Rp 1,2 Miliar

Dokter spesialis mata dan klinik diwajibkan bayar ganti rugi Rp 1,2 miliar.

Rep: jatimnow.com/ Red: jatimnow.com
.
.

Surabaya - Seorang dokter spesialis mata dan klinik mata di Surabaya harus membayar ganti rugi meteriil dan immateriil hingga Rp1,2 miliar secara tanggung renteng. Ini setelah yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap pasiennya, Tatok Poerwanto.

Sang dokter berinisial MS dan klinik mata itupun harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Apalagi permohonan kasasi telah dikabulkan.

Hal itu tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1815 K/Pdt/2021 pada 29 September 2021, yang mana dalam putusan tersebut disebutkan mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Tatok Poerwanto. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY tanggal 16 Juni 2020 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 415/Pdt.G/2019/PN.Sby tanggal 10 Maret 2020.

"Awalnya dalam sidang menyatakan putusan yang dijatuhkan PN Surabaya yang menyatakan bahwa dr MS tidak bersalah dengan acuan keterangan ahli dari Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI) cabang Surabaya, yang diperdengarkan pada agenda sidang di PN Surabaya. Ahli secara tegas mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan dr MS telah sesuai dan tidak melanggar kode etik," terang Kuasa Hukum Tatok Poerwanto, Eduard Rudy Suharto kepada wartawan, Rabu (18/5/2022).

"Namun keterangan ahli tersebut berhasil kami patahkan dengan hasil rekam medis yang saya dapatkan dari rumah sakit di Singapura dan Australia sebagai pembanding. Rekam medis mengatakan sebaliknya, bahwa kesalahan ini karena adanya human error bukan seperti yang disampaikan ahli sebelumnya bahwa adanya kencing manis dan sebagainya," tambahnya.

Eduard mengatakan dalam rekam medis pembanding yang diterimanya disebutkan bahwa dr MS memukul lapisan katarak terlalu keras. Sehingga tembus ke bawah masuk ke kornea mata. Kemudian luka tersebut kemasukan luka dari katarak, ditutup pendarahan tanpa dibersihkan dengan alasan alat mereka belum lengkap kemudian dirujuklah ke rumah sakit Graha Amerta.

"Ini menjadi bumerang bagi mereka, karena dua dalil tersebut berhasil saya patahkan. Saya katakan dengan bukti di internet bahwa mereka mengklaim peralatan klinik mereka terlengkap se-Asia Tenggara. Selain itu juga saya katakan kalau tidak ada pelanggaran dan operasi berjalan baik," jelasnya.

"Kenapa ada kebutaan? Yang didalilkan mereka ada sakit bawaan, contoh kencing manis, itu adalah nonsense. Sebab sebelum melakukan operasi pasti sudah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sampai beberapa hari diperiksa. Tidak mungkin seorang dokter yang sangat terkenal melakukan operasi tanpa melakukan chek up lengkap," sambung dia.

Menurut Eduard, dari hasil translit rekam medis rumah sakit di Australia disebutkan prosedur awal dr MS memukul itu sudah salah. Kemudian juga merujuk ke rumah sakit di Malaysia. Dalam surat rujukan disebutkan bahwa Tatok Perwanto datang ke dr MS dalam kondisi katarak yang sudah pecah atau sudah hancur.

"Itu sudah bohong, padahal kehancuran tersebut yang membikin ya dia. Harusnya dia menyatakan bahwa saya melakukan operasi dan saya gagal bukan malah memutarbalikkan kata. Ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan adanya perbuatan melawan hukum. Ingat perbuatan melawan hukum lho ya, bukan wan prestasi. Artinya ada dugaan malpraktek di sini," tegas pria yang juga menjabat Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Surabaya itu.

Dia melanjutkan, termohon eksekusi sudah menyampaikan ke pihaknya membayar denda. Namun tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tersebut.

"Permintaan mereka pembayaran ditawar dengan nilai yang sangat jauh dari putusan Mahkamah Agung. Sehingga kami akan ajukan permohonan eksekusi minggu depan atas harta benda yang dimiliki termohon," tandasnya.

Namun yang jelas, segala bentuk ganti rugi yang diberikan Mahkamah Agung tidak sebanding dengan kerugian yang dialami kliennya.

"Pastinya tidak sebanding. Semua aktifitasnya mengalami kelumpuhan total lho," pungkasnya.

Sementara anak korban yakni Elly Poerwanto mengatakan, ayahnya sangat terpukul dengan kejadian yang menimpanya. Saat ini, bisa dikatakan ayahnya dalam kondisi depresi dengan sering marah-marah.

"Kejadian tersebut sangat berdampak bagi papa saya. Badannya sekarang menjadi kurus. Diajak pergi kemana-mana juga tidak mau. Padahal dulu dia gagah perkasa, bisa nyetir mobil sendiri. Anak-anaknya sudah berusaha ngajak jalan-jalan, tapi sekarang tidak pernah mau," tutur Elly dengan berurai air mata.

Elly pun kembali berharap ayahnya bisa kuat seperti sedia kala. Baik secara fisik maupun mental. Dia menegaskan bahwa menang secara hukum dengan diberikan ganti rugi sebesar Rp1,2 miliar. Inipun tidak bisa mengembalikan kondisi ayahnya seperti sedia kala.

Terpisah, kuasa hukum dr MS, yakni Sumarso menyatakan pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA tersebut. Dia merasa bahwa kerugian immateriil yang harus dibayarkan kliennya sebesar Rp1 miliar tidak jelas hitungannya.

"Kami akan ajukan PK atas putusan ini," tegasnya saat dikonfirmasi wartawan.

Diketahui, kasus ini bermula pada 28 April 2016. Saat itu Tatok Poerwanto datang ke Surabaya Eye Clinic di Surabaya Selatan. Tujuannya untuk mengobati penyakit katarak di mata kirinya. Saat itu, Tatok ditangani dr MS dan disarankan operasi. Namun pascaoperasi, bapak tujuh anak itu tidak merasakan ada perubahan. Malah mata kirinya makin sakit dan nyeri.

Kemudian Tatok disarankan operasi kembali. Pada operasi kali kedua ini tidak di klinik, tapi di Graha Amerta, RSUD dr Soetomo, Surabaya dengan alasan peralatan medis di sana (Graha Amerta) lebih lengkap. Tatok pun menjalani operasi kedua pada 10 Mei 2016.

Menurut kuasa hukum Tatok, Eduard Rudy, pada operasi kedua yang awalnya dijanjikan hanya berlangsung 30 menit, mendadak molor hingga lima jam. Anehnya lagi usai operasi, dr MS tidak menemui pasien. Tapi menugaskan asistennya menyampaikan hasil operasi.

"Dokter itu berupaya bohong dengan meminta asistennya mengatakan operasi tidak dapat dilanjutkan. Karena ada pendarahan. Selain itu alat tidak memadai, jadi beliau angkat tangan," jelasnya.

Dugaan malpraktek pun terbongkar saat pihak keluarga mendapat salinan rekam medis hasil berobat. Kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani. Sebab pada operasi pertama, ada lensa mata yang robek serta pecahan kataraknya ternyata bertaburan di mata pasien.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement