Kamis 26 May 2022 19:39 WIB

Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Harus Patuh Peraturan

Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Harus Patuh Peraturan

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Hafil
Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Harus Patuh Peraturan. Foto:   Ilustrasi Kepala Daerah
Foto: republika/mardiah
Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Harus Patuh Peraturan. Foto: Ilustrasi Kepala Daerah

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH Universitas Islam Indonesia (UII) memberi catatan terkait penjabat kepala daerah dapat diangkat dari unsur TNI/Polri. Hal itu disampaikan Kapuspen dan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri.

Peneliti PSHK FH UII, Muhamad Saleh mengingatkan, itu sudah diatur dalam Pasal 201 Ayat (10) dan Ayat (11) UU 10/2016. Menyebutkan yang berhak menjadi penjabat kepala daerah dalam menuju transisi menuju pilkada serentak nasional 2024.

Baca Juga

Pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota. Untuk pahami ketentuan pengisian penjabat kepala daerah dapat diisi dari unsur TNI dan POLRI, ada beberapa rujukan.

Pertama, Pasal 109 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Kedua, Pasal 47 Ayat (1) UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Ketiga, Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

"Tiga undang-undang tersebut menegaskan bahwa prajurit TNI dan anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil (yakni penjabat kepala daerah) setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif," kata Saleh, Kamis (26/5/2022).

Norma itu ditegaskan kembali dalam pertimbangan hukum angka 3.13.3 Putusan MK 15/PUU-XX/2022. Menyatakan prajurit TNI dan anggota Polri dilarang jadi penjabat kepala daerah bila belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinas aktif.

Dengan ditegaskannya norma di atas dalam pertimbangan hukum Putusan MK, maka ketentuan ini mengikat. Disebabkan masuk dalam kategori ratio decidendi yang tidak dapat dipisahkan dari amar putusan bahkan menjadi mandat konstitusional.

Jadi, lembaga negara, termasuk eksekutif seperti Kemendagri wajib melaksanakan. Politik hukum pembatasan hak dipilih prajurit TNI dan anggota Polri di atas konstitusional, secara historis, telah sesuai dengan amanat reformasi 1998.

Salah satunya termaktub dalam Konsiderans Bagian Menimbang huruf d Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Serta, Pasal 5 Ayat (5) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

"Pembatasan ini bertujuan agar TNI dan Polri tidak masuk dalam ranah politik praktis agar tidak merusak demokratisasi dan reformasi birokrasi," ujar Saleh.

Atas beberapa catatan itu, PSHK FH UII merekomendasikan Kemendagri mengevaluasi dan mengganti penjabat kepala daerah yang telah diangkat dari prajurit TNI dan anggota Polri tapi belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinas aktif.

Terlebih dulu membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah. Memperhatikan kepentingan daerah dan bisa dievaluasi setiap waktu secara berkala.

Dilakukan pejabat yang berwenang sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021. Saleh menekankan, karena pemilihan kepala daerah sangat erat kaitanya dengan otonomi daerah, maka kemendagri juga harus memperhatikan aspirasi daerah.

Kemendagri dalam penunjukan  mengutamakan calon penjabat dari daerah terkait dan paham persoalan daerah yang dipimpin. Kedua, Presiden RI agar mengingatkan menteri agar tetap tunduk dan patuh peraturan perundang-undangan dan Putusan MK.

"Ketiga, kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pengawas eksekutif agar mengawasi pengisian penjabat kepala daerah agar berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel," kata Saleh. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement