Jumat 27 May 2022 09:05 WIB

Guru Besar IPB University Terpilih sebagai Ketua Komisi Kepatuhan IOTC 2022-2024

Prof Indra Jaya  aktif menciptakan banyak inovasi dalam bidang perikanan.

Red: Irwan Kelana
Prof Indra Jaya, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University didaulat sebagai Ketua Komisi Kepatuhan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) periode 2022-2024.
Foto: Dok IPB University
Prof Indra Jaya, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University didaulat sebagai Ketua Komisi Kepatuhan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) periode 2022-2024.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Prof Indra Jaya, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University didaulat sebagai Ketua Komisi Kepatuhan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) periode 2022-2024. IOTC  merupakan salah satu organisasi antarpemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan tuna dan spesies sejenis tuna di Samudera Hindia.

Sebelum menjadi ketua, Prof Indra telah terlibat dalam kegiatan IOTC sejak 2012 sebagai salah satu anggota delegasi Republik Indonesia (DELRI). Selama 10 tahun itu, dirinya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua hingga akhirnya terpilih sebagai Ketua Komisi Kepatuhan pada Annual Meeting IOTC 2022 di Seychelles, belum lama ini.

“IOTC mengatur bagaimana pengelolaan perikanan tuna yang baik agar stok tuna di Samudera Hindia tetap sehat dan berkelanjutan. Tugas Komisi Kepatuhan adalah memastikan bahwa penangkapan ikan di wilayah ini dilakukan berdasarkan instrumen internasional terkait tata kelola perikanan di laut lepas  dan kesepakatan-kesepakatan (resolusi) bersama antar negara penangkap tuna,” ujar Prof Indra dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (25/5).

Ia melanjutkan, tugas lainnya adalah menelaah semua aspek kepatuhan dari negara-negara penangkap ikan tuna di Samudera Hindia. Aspek kepatuhan tersebut berdasarkan kebijakan dan program konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh IOTC.

Tidak hanya itu, Komisi Kepatuhan juga bertugas mengidentifikasi dan mendiskusikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan program konservasi dan pengelolaan yang efektif. Tim komisi juga membuat rekomendasi bagaimana menangani permasalahan-permasalahan yang ada. Semua negara yang tergabung dalam keanggotaan IOTC akan dinilai tingkat kepatuhannya oleh komisi ini.

“Berdasarkan laporan yang dilakukan setiap negara, Komisi Kepatuhan akan memberikan penilaian dengan tiga kriteria:  Patuh, Separuh Patuh dan Tidak Patuh. Laporan ini transparan dan bisa diakses siapa saja di laman resmi IOTC,” sebutnya.

Penilaian itu, lanjut Prof Indra, bertujuan agar setiap negara dapat mengetahui aspek apa saja yang masih perlu dibenahi atau ditingkatkan dalam mendukung perikanan tuna yang berkelanjutan. Informasi tentang hasil evaluasi dari tingkat kepatuhan ini dapat dijadikan kesempatan untuk saling belajar dan mengoreksi satu sama lain. Menurutnya, negara yang belum memenuhi aspek tertentu dari kepatuhan, bisa belajar kepada negara lain bagaimana mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi.

Selain Komisi Kepatuhan (Compliance Commission), IOTC juga memiliki Komisi Ilmiah (Scientific Commission) dan Komisi Administratif dan Keuangan (Administrative and Finance Commission). “Jika diibaratkan, Komisi Kepatuhan ini ibarat wasit dalam permainan. Kami bertugas memantau aktivitas para penangkap ikan, dan memberi peringatan jika terjadi pelanggaran,” kata Prof Indra.

Dengan terpilihnya sebagai Ketua Komisi Kepatuhan, Prof Indra berharap agar semua negara anggota dapat mematuhi aturan yang diterapkan IOTC. Dengan demikian, tidak ada lagi aktivitas penangkapan ikan yang melanggar (illegal) dan tidak terlaporkan.

“Tugas saya adalah mendorong semua negara anggota untuk patuh, memenuhi kesepakatan-kesepakatan bersama. Kita juga berkomitmen terhadap negara anggota yang membutuhkan bantuan. Kita akan kirimkan staf ahli jika suatu negara memerlukan peningkatan sumber daya manusia (SDM), misalnya untuk membantu pembentukan sistem pemantauan, pendataan, analisis dan pelaporan kegiatan penangkapan ,” terangnya.

Terkhusus bagi Indonesia, ia berharap agar ke depannya lebih proaktif menjadi pemain besar dalam perikanan tuna. Selain punya modal dasar laut yang luas, Indonesia juga memiliki sumber daya manusia nelayan yang cakap dan tangguh di laut.

“Peluang Indonesia untuk menguasai perikanan tuna global sangat besar. Tidak hanya di Samudera Hindia, tapi di tujuh Samudera yang ada. Semestinya negara kita lebih proaktif untuk melihat dan membuka peluang perikanan yang ada di laut lepas, di luar laut teritorial sendiri,” imbuhnya.

Untuk diketahui, Prof Indra Jaya juga merupakan salah satu dosen IPB University yang aktif menciptakan banyak inovasi dalam bidang perikanan. Salah satunya adalah TREKfish, sebuah alat untuk menelusuri jejak operasi penangkapan ikan. Dengan TREKfish, aktivitas kapal penangkap ikan dapat diketahui secara jelas.

 

“Inovasi ini penting agar kita bisa mengetahui posisi kapal penangkap ikan, dan apakah penangkapan ikan masih berada di dalam atau sudah di luar teritorial kita. Sehingga nanti ketahuan, legal atau tidaknya operasi penangkapan ikan dilakukan kapal tersebut,” tutur Prof Indra.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement