Senin 30 May 2022 09:16 WIB

Halal Center UMM Latih SDM Pendamping Proses Produk Halal

Penilaian produk didasarkan pada titik kritis yang ada.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
 Kampus Universitas Muhammadiyah Malang
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Kampus Universitas Muhammadiyah Malang

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Halal Centre Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melangsungkan Pelatihan Pendamping Proses Produk Halal pada 23 sampai 25 Mei 2022 lalu. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan proses sertifikasi halal.

Kepala Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM, Prof Elfi Anis Saati mengatakan, agenda ini merupakan hasil kerja sama Pusat Studi Penelitian dan Pengembangan Produk Halal UMM dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag RI serta LPH-KHT PP Muhammadiyah.

Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan sinergitas kegiatan bertema "Halal Thoyib dan Kompetensi Stakeholder Muhammadiyah." Utamanya di Malang dan Jawa Timur.

Menurut Elfi, agenda ini menargetkan Halal Centre Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dapat bekerja sama dalam proses pendampingan sertifikasi halal UMKM. Apalagi mengingat jumlah UMKM yang mencapai 62,5 juta.

Selain itu juga mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelatihan serta menyumbangkan aktivitas solutif berupa pendampingan. Dalam paparannya, Elfi menegaskan, pembuatan produk halal sangat baik untuk pasar Indonesia maupun global.

Apalagi melihat Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, yakni sebanyak 240 juta. "Bahkan mencapai 40 persen dari total penduduk Asean," ujarnya.

Menurut dia,  kini sertifikat halal sudah diakui oleh World Trade Organization (WTO). Selain itu, halal juga sudah menjadi gaya hidup banyak orang dan mendorong tumbuhnya ekonomi syariah.

Produk halal juga berefek pada rasa aman yang dimiliki oleh konsumen Muslim. Oleh karena itu, pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi, serta lembaga penelitian harus mengupayakan percepatan pengembangan produk halal.

Dalam kesempatan itu pula Elfi menjelaskan, sampai saat ini terdapat 25 persen persen UMKM yang memiliki sertifikat halal. Kemudian 58 persen mempunyai P-IRT, 38,24 persen memiliki MD namun belum melengkapi CPPOB (Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik).

Maka dari itu, Pusat Kajian Makanan Aman-Halal UMM terus melakukan kegiatan penunjang sertifikasi halal. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan melaksanakan Lokakarya Keamanan dan Kehalalan Pangan. Kegiatan ini dilaksanakan bersama guru SMA Jatim, UMKM Malang, Asosiasi Patpi dan Persagi, dan mahasiswa.

Ada juga pelatihan uji deteksi cepat bahan makanan berbahaya, pengabdian ke SMA Kediri, Probolinggo, dan Pasuruan, termasuk pedagang martabak di Malang, serta membuat kantin sehat. "Lebih dari itu kami juga selalu melakukan penelitian dengan luaran paten dan jurnal Nasional serta Internasional,” ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPH-KHT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M Nadratuzzaman Hosen mengatakan, proses sertifikasi halal saat ini masih melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Adapun penilaian produk didasarkan pada titik kritis yang ada.

Hal ini dimulai dengan pemeriksaan bahan yang terbagi menjadi bahan baku dan bahan tambahan. Keduanya harus bebas dari hal yang haram. Adapula bahan penolong yang diharuskan tidak berasal dari babi, anjing, dan tubuh manusia.

Titik kritis selanjutnya yakni dari segi proses. Tempat dan proses produksi tidak boleh tercemar bahan najis. Kalaupun tercemar bahan najis selain mughalladhah, maka harus ada pencucian secara syari.

Hal lain yang tidak kalah penting yakni kesucian alat serta bahan kemasan. Hal yang perlu diperhatikan lagi sebelum proses pengajuan sertifikasi halal yakni jangan sampai ada bahan dari tubuh manusia.

"Kalau ada, tentu saja pasti ditolak. Yang mengandung babi itu juga akan ditolak. Adapun kalau cuma tercampur najis nutawassithah, itu bisa dipertimbangkan asal bisa dibersihkan lagi dengan baik," kata dia menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement