Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image inna laili

Proses Hukum Kekerasan Seksual Harus Ditegakkan Seadil-Adilnya

Eduaksi | Tuesday, 31 May 2022, 11:02 WIB

Dr. Ira Alia Maerani, M.H. (Dosen Fakultas Hukum Unissula)

Inna Laili Nur Hidayah (Mahasiswa Prodi Pendiddikan Matematika, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Unissula)

Akhir-akhir ini banyak pemberitaan kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan yang terjadi di Negara Indonesia. Kasus kekerasan seksual tidak hanya menimpa pada perempuan dewasa tetapi juga pada perempuan yang tergolong dibawah umur (anak-anak). Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan bahwa sepanjang 2021 kasus kekerasan seksual pada perempuan sebesar 15,2% dan pada anak sebesar 45,1%. Dari presentase tersebut, kasus kekerasan seksual pada anak lebih banyak dibandingkan kekerasan seksual pada perempuan dewasa.

Anak menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai sosok lemah dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Hal inilah yang membuat anak tidak berdaya saat diancam dan takut untuk memberitahukan apa yang dialaminnya. Kasus kekerasan seksual pada anak itu ibarat fenomena gunung es, yang artinya masih banyak kasus kekerasan seksual di masyarakat namun tidak dilaporkan.

Korban kasus kekerasan seksual enggan melaporkan kejahatan ini dikarenakan korban masih beranggapan bahwa kasus ini sebagai aib. Apalagi jika pelaku kekerasan tersebut adalah orang terdekat atau berada di lingkungan sekitar korban. Pada kasus ini, para korban tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan khusus dari masyarakat. Masyarakat justru menganggap kekerasan seksual terjadi karena perempuannya yang menggoda, perempuan kerap kali dicap sebagai perempuan murahan, perempuan nakal. Hal inilah yang memicu para korban takut untuk melaporkan, korban memilih untuk diam dan berusaha menghilangkan bayang-bayangan yang dialaminya.

Kurangnya dukungan dari masyarakat dan keluarga dapat membuat korban menjadi makin stres, bahkan ada kemungkinan untuk melakukan bunuh diri. Beban yang dialami korban sangatlah berat dan tidak mudah untuk disembuhkan, apalagi jika terkena gangguan jiwa, seperti depresi atau trauma yang sulit dihilangkan. Dampak yang dialami korban tidak hanya itu saja, masih banyak dampak lain seperti korban harus kehilangan kehormatanya sebagai seorang perempuan dan dampak sosial yang harus dirasakan korban. Terlebih lagi jika kekerasan seksual terjadi pada anak dapat mengakibatkan kerusakan saraf di bagian cortex dan frontal cortex yang berdampak terbunuh karakter si anak.

Kekerasan seksual pada anak kebanyakan terjadi di lingkungan terdekat anak, seperti di rumah dan sekolah. Yang mengherankannya lagi, pelaku kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh seorang guru yang seharusnya berperan sebagai sosok pelindung di satuan pendidikan justru menjadi predaktor seksual. Seorang pelaku kekerasan seksual menggunakan modus tertentu untuk menjebak korban, seperti iming-iming nilai bagus, bahkan menggunakan dalil-dalil tertentu sehingga korban terpaksa menurut. Usia anak yang rentang tenjadi kekerasan seksual yaitu usia 3-17 tahun.

KEKERASAN SEKSUAL MENURUT PANDANGAN ISLAM

Pondasi dalam hidup manusia adalah Agama. Seseorang yang benar-benar mengimani dan melaksanakan ajaran agamanya pasti akan menghindari segala perbuatan yang tercela, termasuk didalamnya yaitu kekerasan seksual. Semua Agama melarang tindakan kekerasan seksual, terutama Agama Islam. Islam sebagai Agama yang anti kekerasan mengharamkan segala bentuk kekerasan dan penindasan termasuk kekerasan seksual pada perempuan. Maka dari itu, Islam turut menyerukan penghapusan kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual sampai ke eksploitasi seksual.

Mufti Mesir, Syauqi Ibrahim Allam menyatakan:

فالتحرُّش الجنسي بالمرأة من الكبائر، ومن أشنع الأفعال وأقبحها في نظر الشرع الشريف، ولا يصدر هذا الفعل إلا عن ذوي النفوس المريضة والأهواء الدنيئة التي تَتَوجَّه همَّتها إلى التلطُّخ والتدنُّس بأوحال الشهوات بطريقةٍ بهيميةٍ وبلا ضابط عقليٍّ أو إنسانيّ.

“Kekerasan seksual terhadap perempuan termasuk dosa besar, dan tindakan yang paling keji dan buruk dalam pandangan syari’at. Kekerasan seksual hanya lahir dari jiwa-jiwa yang sakit dan birahi-birahi rendahan sehingga keinginannya hanya menghamburkan syahwat dengan cara binatang, diluar nalar logic dan nalar kemanusiaan”.

Dalam beberapa hadis, Nabi bersabda: “jika kepala salah seorang di antara kalian ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada meraba-raba perempuan yang bukan istrinya” (HR. At-tabrani, Rijaluluhu tsiqatun)

Dalam hadis lain Nabi bersabda; “Jika kalian berkubang dengan babi yang berlumuran dengan lumpur dan kotoran, itu lebih baik daripada engkau menyandarkan bahumu di atas bahu perempuan yang bukan istrimu” (HR. At-Tabrani)

Dua hadis ini meneguhkan, kekerasan seksual adalah hal yang dilarang dalam Islam karena ia merendahkan martabat kemanusiaan, baik martabat pelaku, terlebih lebih martabat korban. Di dalam Al-Qur’an juga dijelaskan larangan kekerasan seksual baik fisik maupun nonfisik.

HUKUM DI INDONESIA MENGENAI KEKERASAN SEKSUAL

Kekerasan seksual tidak hanya melanggar moral dan hukum pidana, namun juga melanggar Hak Asasi yang dimilki oleh korban. Sistem hukum indonesia menjamin Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Undang-Undang 1945 Pasal 28A-28J. Pada Pasal 28D ayat (1) dijelaskan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya Pasal 28B ayat (2) dijelaskan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Lalu pada Pasal 28G ayat (1) dijelaskan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungaan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Kemudian dipertegas lagi pada Pasal 28I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dapat dilihat dari berbagai pasal di atas, bahwasanya sistem hukum Indonesia menentang kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Namun, kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi problem dan belum memiliki kepastian hukum yang kuat, terutama dalam pembuktian di peradilan. Hukum Indonesia belum sepenuhnya memberikan konsekuensi hukum yang tegas bagi pelaku dan perlindungan komprehensif bagi korban. Perlindungan pada korban kekerasan seksual masih sangat minim, termasuk didalamnya menjamin kerugian fisik dan psikis korban, rehabilitasi korban dan juga pelaku, belum mampu melindungi hak-hak korban, dan mencegah keberulangan terjadinya kejahatan seksual.

Menurut Perwakilan komunitas Perempuan, Rika Rosvianti mengatakan "Belum ada payung hukum yang secara spesifik mengatur mengenai kekerasan seksual. Rujukan hukum yang selama ini digunakan untuk memproses kasus kekerasan seksual hanya bisa mengenali kekerasan seksual bila ada kontak fisik,". Proses peradilan yang lama kerap kali menjadikan kasus ini terhambat dan tidak ditindak lanjuti. Mirisnya lagi korban kekerasan seksual yang tidak memiliki bukti justru dituntut oleh pelaku dengan tuntutan pencemaran nama baik.

Pendekatan pendidikan masyarakat sangat penting untuk memberikan penyadaran moral dan teologis bahwa kekerasan seksual tidak saja mencederai harkat dan martabat kemanusian, melainkan lebih dari itu. Kekerasan seksual melanggar moral dan nilai-nilai agama yang tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, melainkan juga di akhirat kelak. Salah satu upaya membangun kesadaran itu adalah dengan terus menerus mensosialisasikan, bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan besar yang menjadi musuh utama agama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image