Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Munawar Khalil N

Blindness, Ketika Mata Tak Mampu Melihat

Sastra | Thursday, 02 Jun 2022, 10:55 WIB
Meski termasuk novel yang sudah cukup lama, Blindness adalah novel international best seller. Terbit tahun 1999, namun baru pada 2007 terbit dalam Bahasa Indonesia. Penulisnya menerima Nobel Sastra tahun 1998. Karena itu, sebelum membaca novel ini saya punya ekspektasi bahwa ini adalah karya yang berkualitas.

Ekspektasi saya tidak meleset. Blindness memang maknyus. Cerita dimulai di sebuah persimpangan lampu merah. Seorang pengemudi mobil tiba-tiba disergap kebutaan yang ganjil. Bukan kegelapan yang menyelimuti melainkan putih. Yang ia lihat di sekeliing hanya warna putih semata. Seperti lampu yang sangat terang menyorot ke bola mata. Dengan bantuan seorang lelaki dia akhirnya dapat sampai ke rumah. Meskipun kemudian lelaki itu membawa kabur mobilnya.Dokter mata yang memeriksa lelaki buta tidak menemukan hal ganjil apapun. Ini jenis kebutaan yang baru. Buta biasanya diselimuti kegelapan. Yang ini tidak, justru segalanya menjadi putih menghalangi pandangannya.

Beberapa waktu kemudian dokter mata juga mengalami kebutaan yang sama. Si pencuri mobil, seorang gadis pelacur, seorang anak lelaki semuanya menjadi buta. Buta itu menulari orang-orang.Kebutaan ganjil itu menulari orang-orang, menyebabkan kekacauan. Pemerintah berusaha mengantisipasi dengan mengkarantina mereka yang buta, dan mereka yang belum buta tapi telah terkontaminasi atau pernah berinteraksi dengan orang buta. Pada akhirnya semua orang menjadi buta.

Tahun 2008, novel ini diadaptasike dalam film dengan judul yang samaBlindness oleh Miramax Films.Wabah buta semakin tidak terbendung. Orang-orang buta yang dikarantina memberontak karena pemerintah semakin kewalahan meyediakan logistik untuk mereka. Di karantina, orang-orang buta itu bereaksi secara beragam. Kepanikan dan ketakutan melanda. Ada juga sebagian orang buta yang berusaha menekan orang buta lain demi kepentingan mereka. Orang-orang buta itu juga masih manusia. Kebutuhan biologis mereka seperti makan, seks, buang hajat tentu harus terpenuhi. Maka, demi pemenuhan itu, mereka melakukan apapun yang menurut mereka benar.

Hanya satu orang yang tidak terjangkiti oleh penyakit buta itu, yaitu istri dokter. Entah kenapa dia kebal dengan penyakit buta itu.Blindness terkesan novel muram. Bahkan novel terjemahnya pun bersampul seorang perempuan tanpa mata. Saya yang bukan penggemar novel horor tidak berselera. Namun ketika membaca pengantar di sampul belakang, saya segera memutuskan novel ini layak dibaca.

Novel ini tidak bisa mencegah saya mengingat geger politik dan pembelahan sosial yang selama hampir satu dasawarsa ini memenuhi ruang publik. Saling klaim kebenaran bertebaran di mana-mana. Bukan tidak mungkin eskalasinya terus meningkat (apalagi jelang 2024) dan memberikan letupan-letupan yang mengkhawatirkan. Caci maki dan hinaan menyebar di media sosial. Orang merasa telah “melihat” kebenaran sehingga berhak untuk merendahkan orang lain.

Buta bukan sekedar terhalangnya mata dari melihat fakta di sekitar. Buta bisa jadi ketidakmampuan melihat keadilan, kebaikan, ketulusan, meskipun berada tepat di depan mata.

Sekonyong-konyong, saya cemas. Jangan-jangan orang buta di novelnya Saramago itu adalah saya, yang tidak lagi tergerak untuk sekedar mendoakan pedagang kecil tua di emperan toko, yang tidak lagi merasa kasihan dengan pengemis anak-anak di persimpangan jalan, yang tidak lagi peduli tentang etika dan kesopanan kepada siapapun, yang tidak lagi sensitif membedakan yang mana yang kasar yang mana yang halus, yang menganggap wajar ujaran kebencian terhadap suku atau agama tertentu, yang tertawa di atas penderitaan para jelata, yang menikmati buku-buku bajakan tanpa ada rasa kasihan bahwa penulisnya tidak mendapat apapun.

Kebutaan itu pada akhirnya menjelma menjadi pemakluman, dan berujung pada klaim kebenaran. Yang benar dibilang salah, yang salah dielu-elukan sebagai yang benar. Coba lihat bagaimana hukum hari ini. Idealisme hukum hanya berhenti di ruang-ruang kelas. Atau mungkin saja hari ini hanya tersimpan di buku-buku usang yang ditulis para begawan. Sebab mereka yang di kampus mungkin juga adalah orang-orang buta yang merasa melihat orang lain buta.

Lalu siapakah mereka yang benar-benar melihat? Entahlah. Tanyakanlah ke Jose Saramago mengapa hanya ada satu orang di novelnya itu yang bisa melihat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image