Rabu 08 Jun 2022 16:37 WIB

Regulasi Pelabelan BPA Sudah Diserahkan ke Setkab

Regulasi pelabelan bahan kimia mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir.

Red: Erik Purnama Putra
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito menyatakan, regulasi pelabelan Bisfenol A (BPA)-bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan-pada produk air minum dalam kemasan (AMDK) merupakan upaya perlindungan pemerintah atas kesehatan masyarakat.

"Regulasi pelabelan risiko BPA sudah kami serahkan ke Sekretariat Kabinet (Setkab) untuk pengesahan dan kami diminta untuk mendiskusikannya secara terbuka ke publik, termasuk pada hari ini," kata Penny dalam sebuah sarasehan memperingati Hari Keamanan Pangan Dunia di Jakarta, Selasa (7/6/2022).

Menurut Penny, regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik. "Semua kajian (scientific research) lebih kepada resiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA," katanya.

Penny berpendapat, pelabelan tersebut bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi kesehatan publik. "Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi," katanya.

Pernyataan Penny itu memperkuat paparan mendetail Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM, Rita Endang, terkait bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan BPA. "Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat. Jadi jelas tidak ada istilah kerugian ekonomi," kata Rita dalam sebuah diskusi publik pekan lalu.

Secara khusus, Rita memerinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Dia bilang saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, kata dia, sekitar 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang.

Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. "Artinya 96,4 persen itu mengandung BPA. Hanya 3,6 persen yang menggunakan kemasan PET (Polietilena tereftalat)," katanya menyebut jenis kemasan plastik yang bebas BPA.

Sebelumnya, berbagai kalangan menyuarakan dukungan atas regulasi pelabelan risiko BPA, termasuk dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), kalangan peneliti lintas ilmu dari berbagai universitas dan DPR. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof Junaidi Khotib, termasuk yang mendesak BPOM segera menerbitkan aturan pelabelan risiko BPA agar masyarakat tidak terus-menurus terpapar pada galon guna ulang.

Saat ini, kata dia, masyarakat belum lagi mengetahui bahaya besar dari paparan BPA. "Bagaimana bisa tahu bila label peringatannya belum pernah ada," katanya beberapa waktu lalu.

Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Andi Cahyo Kumoro menuturkan, pelepasan BPA pada galon guna ulang rentan terjadi bila galon sampai tergores atau terpapar sinar matahari langsung. Efeknya, paparan BPA bisa memunculkan gangguan pada sistem saraf dan perilaku anak, sementara pada ibu hamil, bisa memicu keguguran. "Di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement