Rabu 15 Jun 2022 03:09 WIB

Studi Sebut Planet Jupiter Melahap Banyak Planetesimal, Apa Itu?

Jupiter dikenal sebagai planet tertua di Tata Surya.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani / Red: Dwi Murdaningsih
Pemandangan badai di Planet Jupiter yang ditangkap dengan teleskop Hubble.
Foto: nasa
Pemandangan badai di Planet Jupiter yang ditangkap dengan teleskop Hubble.

REPUBLIKA.CO.ID, LEIDEN -- Planet Jupiter hampir seluruhnya terdiri dari hidrogen dan helium. Jumlah masing-masing sangat sesuai dengan jumlah teoritis di nebula surya primordial.

Namun, planet Jupiter juga mengandung unsur-unsur lain yang lebih berat, yang oleh para astronom disebut logam. Meskipun logam adalah komponen kecil Jupiter, keberadaan dan distribusinya memberi tahu banyak astronom mengenai banyak hal.

Baca Juga

Dilansir dari Sciencealert, Senin (13/6/2022), menurut studi baru, kandungan dan distribusi logam Jupiter berarti bahwa planet ini memakan planetesimal berbatu di masa mudanya. Planetesimal adalah kumpulan debu dan gas yang kemudian bersatu dengan kerikil dan batu membentuk material yang lebih besar.

Sejak pesawat ruang angkasa Juno Badan Antariksa Amerika (NASA) mencapai Jupiter pada Juli 2016 dan mulai mengumpulkan data terperinci, temuan itu telah mengubah pemahaman ilmuwan tentang pembentukan dan evolusi Jupiter.

Salah satu fitur misi adalah instrumen Ilmu Gravitasi. Fitur ini mengirimkan sinyal radio bolak-balik antara Juno dan Deep Space Network di Bumi.

Proses ini mengukur medan gravitasi Jupiter terbentuk, itu dimulai dengan mengakresi material berbatu. Setelah jutaan tahun, Jupiter menjadi raksasa seperti sekarang ini.

Namun, ada pertanyaan penting mengenai periode awal akresi berbatu. Apakah itu menambah massa batu yang lebih besar seperti planetesimal? Atau apakah itu menambah material seukuran kerikil? Tergantung pada jawabannya, Jupiter terbentuk pada skala waktu yang berbeda.

Studi baru diterbitkan dalam jurnal Astronomy and Astrophysics. Penulis utamanya adalah Yamila Miguel, asisten profesor astrofisika di Observatorium Leiden dan Institut Penelitian Luar Angkasa Belanda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement