Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Ahmad Tohari: Penovel Ronggeng Dukuh Paruk

Sastra | Wednesday, 15 Jun 2022, 08:33 WIB
sumber foto: beritatagar.id

Ahmad Tohari, 13 Juni 2022 ini berusia 74 tahun. Sastrawan yang relijius ini tidak hanya menulis cerpen dan novel, ia juga berdakwah dan memimpin majalah Ancas -sebuah majalah bulanan dalam bahasa Jawa Banyumasan yang diterbitkannya sejak 2010 lalu.

Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) adalah novel fenomenal, yang ditulis Ahmad Tohari pada 1981. Novel RDP merupakan bagian pertama dari trilogi novel: Lintang Kemukus Dini Hari, dan novel ketiga berjudul Jantera Bianglala. RDP semula adalah cerita bersambung di Haran Kompas. Setahun kemudian, 1982, RDP diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cetakan ketiga diterbitkan oleh penerbit yang sama, November 1988. Cetakan keempat diterbitkan juga oleh Gramedia Pustaka Utama Februari 1992 dan cetakan kelima pun diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama Februari 1999 dengan jumlah 174 halaman. Pada tahun 2003 dan November 2011, trilogi ini disatukan menjadi satu buku dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk.

Fenomenal

Seorang Jepang bernama Shinobu Yamane, karena sangat tertarik oleh isi novel RDP, ia menerjemahkan novel itu ke dalam bahasa Jepang. Bahkan, karena tertarik pula oleh novel lanjutannya, yang kedua, Lintang Kemukus Dinihari (1985) dan yang ketiga dari Trilogi itu, Jantera Bianglala (1986) kemudian ia menerjemahkan kedua novel tersebut. RDP, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Belanda dan Jerman.

Tahun 2002, Yayasan Lontar menerbitkan trilogi tersebut ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Dancer tanpa ada bagian yang disensor. Sebelumnya, teks-teks yang disensor dari RDP yang diterbitkan Gramedia (1986) telah terbit di Swedia. Kini, setelah reformasi, Gramedia baru berani menerbitkan ulang trilogi tersebut menjadi satu buku yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (2002) dengan mengembalikan bagian-bagian yang dulu dihilangkan.

Bukti bahwa RDP ini menarik, dapat diamati dari penerjemahan novel ini, dijadikan sebagai kajian ilmiah bagai calon sarjana,master, dan doktoral. Karya karya dari sastrawan kelahiran 13 Juni 1948 ini sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Jerman, Spanyol, Italia, China dan Jepang.

Selain itu RDP telah dua kali dialihwahanakan ke dalam film. Film adaptasi pertama adalah Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) yang disutradarai oleh Yazman Yazid dan dibintangi Ray Sahetapy dan Enny Beatrice. Film adaptasi kedua adalah Sang Penari (2011) yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah dan dibintangi Prisia Nasution dan Oka Antara. Film adaptasi kedua ini berhasil meraih sepuluh nominasi Festival Film Indonesia 2011 dan berhasil memenangkan empat Piala Citra untuk penghargaan utama.

Menarik tesis yang ditulis oleh Inung Setyami (2012) ketika menelaah secara ilmiah novel RDP ini. Setelah diadakan pembacaan, pelacakan, dan dilakukan analisis data, dapat diketahui bahwa norma sosial yang tampak dalam RDP adalah norma sosial masyarakat Jawa abangan yang tidak terlepas dari adanya kepercayaan terhadap ramalan, kepercayaan terhadap roh leluhur dan simbol magis, prinsip kerukunan, dan sikap mental Jawa.

Kultur yang dominan terekspresi dalam Ronggeng Dukuh Paruk adalah kultur masyarakat Jawa, yaitu kesenian ronggeng berkaitan dengan adanya inisiasi-inisiasi peronggengan serta pergowokan. Sementara itu, fakta historis yang menjadi latar Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu kesenian ronggeng dihadapkan pada peristiwa seputar G 30 S PKI yang berpengaruh terhadap fungsi dan citra ronggeng.

Melalui background, foreground yang dituju pengarang berupa norma sosial, dimunculkan untuk menggugat keadaan masyarakat yang secara mental spiritual memiliki sikap hidup pasif. Norma budaya dihadirkan sebagai wujud ketidaksetujuan terhadap simbol feodalisme Jawa yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, norma historis dimanfaatkan untuk menyuarakan intensi, yaitu kritik terhadap pemerintahan rezim Orde Baru yang otoriter dan politisasi seni.

Apa isi novel RDP?

Novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan rekaman kehidupan dan adat kebiasaan masyarakat Dukuh Paruk. Dukuh Paruk, dalam cerita itu adalah sebuah desa yang terpencil di Jawa, sangat miskin, dan terbelakang, baik kehidupan ekonomi, budaya, maupun pendidikannya. Gambaran kemelaratan di desa Dukuh Paruk itu terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya.

Dalam novel RDP,dikisahkan bahwa Dukuh Paruk yang kering kerontang menampakkan kehidupannya kembali ketika Srinthil, bocah yang berumur sebelas tahun, menjadi ronggeng. Penduduk dukuh yang merupakan keturunan Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka, menganggap bahwa kehadiran Srinthil akan mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya , bahwa dukuh Paruk hanya akan lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala., ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya.

Srinthil adalah potret anak Dukuh Paruk yang yatim piatu akibat bencana tempebongkrek. Enam belas penduduk meninggal karena memakan tempe bongkrek yang terbuat dariampas kelapa itu. Tak terkecuali juga kedua pembuat tempe, yaitu kedua orang tua Srinthil.

Srinthil yang saat itu masih bayi, kemudian dipelihara oleh kakek-neneknya, Sakarya suami-istri.Sang kakek yakin bahwa Srinthil telah kerasukan indang ronggeng. Srinthil dilahirkan untuk menjadironggeng atas restu arwah Ki Secamenggala.

Sebagaimana layaknya seorang ronggeng, Srinthil harus melewati tahap-tahap untuk menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Setelah diserahakan kepada Kartareja, dukun ronggeng di Dukuh itu, Srinthil harus dimandikan kembang di depan cungkup makam Ki Secamenggala.

Srinthil juga harus melewati tahap bukak klambu. Ia tidak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran kalau tidak melewati tahap ini.

Rasus merasa dongkol dengan syarat tersebut. Teman main Srinthil sejak kecil ini bukan hanya cemburu dan sakit hati karena Srinthil dilahirkan menjadi ronggeng, yang berarti menjadi milik umum, tetapi karena kegadisan Srinthil yang disayembarakan. Yang lebih panas lagi adalah ketidakmampuannya sebagai anak yang berumur empat belas tahun untuk mengubah hukum yang sudah pasti terjadi, dan itu bakal menimpa orang yang dicintainya.

Sampai saat yang ditentukan, Rasus tidak dapat berbuat banyak untuk mendapatkan Srinthil. Ia hanya dapat mendengarkan pertengkaran Dower dan Sulam di emper samping rumah Kartareja. Kedua lelaki yang sama-sama bajingan itu masing-masing merasa dirinyalah yang lebih pantas untuk meniduri Srinthil yang pertama kali sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh Kartareja: seringgit uang emas.

Kenyataan menunjukkan yang lain, dan tidak diduga oleh Rasus. Sebab, Srinthil tiba-tiba dilihatnya di belakang rumah Kartareja dan meminta Rasus menggaulinya. Ia lebih suka menyerahkan kegadisannya kepada Rasus dari pada kepada kedua orang yang memuakkan Srinthil itu. Rasus tidak menolak keinginan orang yang merupakan bayang-bayang ibunya yang entah kemana itu. Dower dan Sulam menyusul kemudian. Sementara Kartareja dan istrinya mereguk keuntungan; seringgit uang emas dari Sulam dan seekor kerbau serta dua buah rupiah perak dari Dower.

Setelah mendapatkan pengalaman yang baru pertama kali dirasakannya, Rasus meninggalkan dukuh Paruk. Ia menjadi benci kepada Srinthil yang sudah menjadi ronggeng yang sesungguhnya. Srinthil menjadi milik umum dan baying-bayang emaknya dicabutnya dari Srinthil.

Begitulah, kehidupan desa Dawuan tempat diri atas adat Dukuh paruk, membuat pandangan Rasus banyak berubah. Pengenalan atas dunia wanita yang dialami di Dawuan pun banyak membuat pandangan terhadap Srinthil sebagai tokoh bayang-bayang ibunya bergeser jauh, bahkan berhasil disingkirkannya. Oleh karena itu ketika Rasus ditawari Srinthil untuk menjadi suaminya, ia menolak.

Langkah Rasus pasti dan keputusan menolak Srinthil pun pasti. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srinthil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk , yaitu ronggeng. Dengan keputusan itu, Rasus yakin bahwa ia bisa hidup tanpa kehadiran bayangan emak, bayangan yang selama ini membuatnya resah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image