Rabu 15 Jun 2022 15:18 WIB

Indikasikan Tahan Suku Bunga Lagi, BI: Semoga tidak Ada Surprise

BI meyakini gejolak inflasi tidak harus direspons kenaikan suku bunga

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Bank Indonesia mengindikasikan akan kembali menahan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 22-23 Juni 2022. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan gejolak inflasi yang terjadi saat ini tidak harus direspons oleh kenaikan suku bunga.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Bank Indonesia mengindikasikan akan kembali menahan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 22-23 Juni 2022. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan gejolak inflasi yang terjadi saat ini tidak harus direspons oleh kenaikan suku bunga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia mengindikasikan akan kembali menahan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada 22-23 Juni 2022. Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan gejolak inflasi yang terjadi saat ini tidak harus direspons oleh kenaikan suku bunga.

"Di sisi moneter ada dampak inflasi yang terjadi dalam negeri, BI tentu saja tidak harus terpaksa menaikan suku bunga, meski kita terus waspadai perkembangan inflasi, semoga tidak ada surprise di global dan domestik sehingga pemulihan terus berlanjut," katanya dalam Seminar hybrid INDEF: Managing Inflation to Boost Economic Growth, Rabu (15/6).

Baca Juga

Perry mengatakan, instrumen kebijakan moneter suku bunga acuan hanya akan digunakan untuk menjaga stabilitas. Sementara empat kebijakan BI lainnya, yakni makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar, dan UMKM/ekonomi syariah digunakan untuk pro pertumbuhan.

Ia menekankan kondisi outlook ekonomi Indonesia masih baik dan stabil. Sejumlah indikator menunjukkan nilainya terjaga, seperti neraca perdagangan yang surplus, cadangan devisa terjaga, nilai tukar terjaga, hingga sasaran inflasi yang dinilai masih terkendali.

Perry mengakui Indeks Harga Konsumen (IHK) akan mengalami kenaikan hingga 4,2 persen di akhir 2022, namun ekspektasi dan inflasi inti disebutnya akan terjaga pada sasaran 2-4 persen. Sementara tahun depan, baik IHK, inflasi inti, dan ekspektasi inflasi diproyeksi akan kembali ke sasaran 2-4 persen.

BI juga optimistis karena koordinasi yang erat antara pemerintah, BI, dan stakeholder lainnya. Mengingat respons fiskal dari pemerintah dinilainya akan menahan laju inflasi karena pengaruh disrupsi kenaikan harga energi dan pangan dunia.

"Subsidi masih terus berlanjut, BI juga masih terus berpartisipasi membantu pendanaan APBN tahun ini, senilai Rp 224 triliun, yang bisa digunakan untuk kesehatan, bantuan sosial, atau untuk bantu subsidi, kami serahkan sepenuhnya pengaturan pada Kemenkeu," kata Perry.

Skema burden sharing dengan BI membeli SBN di pasar perdana tersebut akan berakhir tahun ini. Perry menambahkan, BI juga sudah melakukan normalisasi kebijakan dari sisi penyerapan likuiditas pasar di perbankan dengan menaikan Giro Wajib Minimum (GWM).

Pada RDG terakhir, BI mempercepat lagi penyerapan likuiditas. Perry menekankan langkah tersebut tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan untuk menyalurkan kredit dan membeli SBN. Likuiditas pasar setelah kenaikan GWM akan tetap di atas kemampuannya saat sebelum pandemi.

Mewaspadai kondisi global, Perry mengatakan terus memantau, mengantisipasi, dan merespons isu kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed. BI perkirakan Fed Fund Rate akan naik hingga 2,75 persen pada akhir 2022 dan naik lagi 50 bps 3,25 persen pada 2023.

Sementara untuk yield US Treasury diproyeksi bisa mencapai 3,3 persen pada 2022 dan kembali turun jadi 2,9 persen pada 2023. Untuk outlook ekonomi Indonesia, BI proyeksikan pertumbuhan antara 4,5-5,3 persen pada 2022 dan 2023 naik jadi 4,7-5,5 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement