Rabu 22 Jun 2022 23:14 WIB

Berkolaborasi dengan UNHCR, Makaila Haifa Rangkul Para Pengungsi untuk Unjuk Kebolehan

November 2021, UNHCR mencatat 13.175 (pengungsi dan pencari suaka) ada di Indonesia.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Pendiri sekaligus pemilik Jenama fesyen Tanah Air Makaila Haifa, Ling Hida (kiri) bersama dua model yang memperagakan karyanya. Kedua model tersebut adalah pengungsi asal negara lain yang sedang berjuang mencari suaka dalam panduan UNHCR.
Foto: Dok. Web
Pendiri sekaligus pemilik Jenama fesyen Tanah Air Makaila Haifa, Ling Hida (kiri) bersama dua model yang memperagakan karyanya. Kedua model tersebut adalah pengungsi asal negara lain yang sedang berjuang mencari suaka dalam panduan UNHCR.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri sekaligus pemilik Jenama fesyen Tanah Air Makaila Haifa, Ling Hida, bersyukur karya-karyanya bisa menjadi jembatan bagi para perempuan pengungsi di Indonesia untuk melanjutkan hidup. Hal ini ia ungkapkan sesuai melihat para model yang merupakan pengungsi korban perang dari berbagai negara, khususnya Asia Tengah, beberapa waktu lalu di Jakarta.

Hida mendirikan Miskha Project, sebuah lembaga non-profit yang menjadi wadah khusus bagi pengungsi dari luar negeri menyalurkan kemampuannya. Utamanya dalam dunia seni dan fesyen.

Baca Juga

"Mischa Project sendiri mengambil semangat pemberdayaan perempuan atau 'Women Superwomen and Empowerment.' Tema tersebut sesuai dengan semangat dari kami, apalagi dari 13.175 pengungsi di Indonesia, 74 persen di antaranya merupakan kaum perempuan," kata dia.

Hida tampak terharu karena para perempuan tersebut kini bisa menyulam senyum di wajahnya masing-masing. Ia pun bertekad meneruskan upayanya ini hingga bisa menghadirkan manfaat seluas-luasnya.

Ia mengatakan, bakat-bakat fesyen dan seni yang dimiliki para pengungsi ternyata cukup mengagumkan. Maka itu, ia berharap makin banyak pengungsi yang bisa dirangkul dalam proyek ini.

"Saya kan pahamnya di bidang fesyen, jadi nanti saya inginnya mereka memulai dari awal, bisa merancang hingga menjahit sampai memeregakan busana hasil kreasi mereka di sebuah pertunjukan fesyen," kata dia.

Indonesia sendiri adalah negara transit untuk para pengungsi. Per November 2021, UNHCR mencatat 13.175 (pengungsi dan pencari suaka) yang berada di Indonesia. Diketahui, 74% nya adalah kaum perempuan. Ada ribuan pengungsi dan pencari suaka tersebut yang sedang menghadapi persoalan hak asasi yang berat. 

Beberapa hak-hak dasar seperti mendapatkan pendidikan, mengakses kesehatan dan bekerja, masih belum bisa didapatkan oleh para pengungsi.

Selama berada di Indonesia mereka hidup dari bantuan yang sangat terbatas dan tanpa kepastian kelanjutannya. Bantuan tersebut juga belum tentu dapat memberikan makna bagi eksistensi mereka sebagai manusia. Karena itulah, penting bagi mereka untuk melakukan aktualisasi diri, meski mereka melakukannya dengan berbagai pembatasan. 

Aktualisasi mereka bisa tersalurkan jika ada keterlibatan kelompok masyarakat. Keterlibatan kelompok masyarakat, organisasi sipil atau swasta, kepada para pengungsi tidaklah cukup hanya memberi bantuan materi semata. Tapi yang terpenting adalah ruang. 

Untuk itu, Miskha Project bekerja sama dengan UNHCR dan komunitas #WEGOTYOURBACK_ID bertujuan memberi ruang aktualisasi bagi kreativitas para perempuan pengungsi yang tinggal di Indonesia, karena mereka adalah individu dengan bermacam keahlian.

Seperti Nazanin Jan Ali, pengungsi perempuan asal Afganistan, yang piawai berbahasa Inggris. Dia mendedikasikan keahliannya itu dengan menjadi pengajar untuk para pengungsi anak-anak hingga dewasa. Nazanin antusias menjalankan kegiatannya itu terlepas pengalaman buruknya ketika jatuh sakit dan sulit sekali mendapatkan bantuan medis. Kondisi psikologis ibunya yang terdampak cukup berat sejak mereka meninggalkan negaranya dan tanpa didampingi suaminya, tidak membuat padam semangatnya. Ada lagi Jafari Freshteh dari Afganistan yang membuat karya lukisan dengan cat air dan akrilik selain sebagai hobi dan sumber penghasilan, dan juga sebagai terapi baginya sebagai pengungsi dan orang tua tunggal.

Di usianya yang relatif muda, 24 tahun, tantangan dalam menjalani hidup sebagai pengungsi sudah cukup berat. Dia sempat tinggal di tenda dalam kondisi hamil hingga akhirnya tinggal bersama temannya demi menghemat pengeluaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement