Kamis 23 Jun 2022 09:33 WIB

Guru Besar Unair Ungkap Mengapa Presidential Threshold tak Lagi Relevan

Partai politik ingin terus mempertahankan kekuasaannya.

Rep: Dadang K/ Red: Teguh Firmansyah
Pemilu (ilustrasi)
Foto: Republika/Musiron
Pemilu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Prof Ramlan menyebut, aturan presidential threshold sudah tidak relevan diterapkan dalam Pemilu Indonesia, apalagi setelah disepakatinya pemilu serentak 2024. Ia menjelaskan, dulu presidential threshold memang masih masuk ketika ada ambang batas yang ditentukan berdasarkan hasil pemilihan anggota DPR karena Pileg dilaksanakan terlebih dahulu sebelum Pilpres.

Sementara dalam UU Pemilu yang sekarang, Pileg dan Pilpres telah diserentakkan tapi presidential threshold ini masih ada. Dasar pengaturannya adalah hasil Pileg lima tahun sebelumnya. Ini kan tidak ideal,” kata Ramlan, Kamis (23/6).

 

Mantan ketua KPU RI itu menjelaskan, mekanisme itu dipertahankan karena partai-partai di DPR merasa merekalah yang berhak untuk mengajukan pasangan calon. Menurutnya, sekalipun premis tersebut tidak salah, presidential threshold adalah mekanisme terjelek untuk menjaga hak tersebut. Seharusnya, implementasi dari hak tersebut adalah melalui praktik demokrasi internal dalam partai politik. Di sana, anggota partai secara internal memilih siapa yang akan diajukan jadi calon presiden.

 

“Di Amerika Serikat, dikenal ada yang namanya primaries. Misal Partai Demokrat ingin mengajukan calon presiden, seluruh anggota partai tersebut memilih siapa yang berhak diajukan,” ujarnya.

 

Sementara di Indonesia, sambungnya, yang diajukan hanya bergantung pada elite partai politik saja. Partai di Indonesia punya anggota di seluruh penjuru negeri, tetapi anggotanya tidak memiliki kemampuan untuk menentukan calonnya karena elite partai enggan menggunakan mekanisme tersebut.

 

“Jadi partai kita secara internal itu tidak demokratis,” ujar alumni Northen Illonis University tersebut.

 

Ramlan melanjutkan, lanskap itu pada akhirnya menghasilkan pemilu yang kental akan unsur pragmatisme dan minim perbedaan visi-misi antarcalon dan antarpartai. Ia mengatakan, dengan presidential threshold yang tinggi pun, seharusnya masih bisa muncul 3 hingga 5 Paslon dalam Pilpres. Namun nyatanya, dalam dua pemilu terakhir hanya memunculkan dua Paslon karena koalisi yang dibentuk partai politik hanya didasarkan pada elektabilitas calon.

 

“Jadi tujuannya partai politik di sini hanya satu, yaitu ingin berkuasa. Jadi tidak ada keinginan untuk memperjuangkan visi-misinya secara jelas. Dengan adanya mekanisme demokrasi internal ini diharapkan partai dapat benar-benar memikirkan visi-misinya secara jelas, bukan hanya sekadar membuat koalisi yang dapat memenuhi threshold dan mengajukan calon yang tinggi elektabilitas,” kata Ramlan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement