Sabtu 25 Jun 2022 10:24 WIB

Media Asing Soroti Pejabat Indonesia Gemar Melabeli PNS Radikal

Indonesia berkampanye melawan kelompok Islamis sebagai siasat membungkam yang kritis.

Red: Erik Purnama Putra
Sejumlah calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang diyatakan lulus mengucapkan sumpah jabatan  saat upacara pelantikan PNS di Kota Serang, Provinsi Banten, Rabu (2/2/2022).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Sejumlah calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang diyatakan lulus mengucapkan sumpah jabatan saat upacara pelantikan PNS di Kota Serang, Provinsi Banten, Rabu (2/2/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media Economist menyoroti pemerintah Indonesia yang menilai pegawai negeri sipil (PNS) sebagai pegawai radikal dan berbahaya. Artikel berjudul 'Indonesia’s campaign against Islamists is a ploy to silence', mengajak pembaca untuk membedah siasat pemerintah membungkam mereka yang kritis dan tidak sepaham sebagai kelompok ekstremis dan radikal.

Media yang berbasis di London, Inggris, itu memulai ulasan dengan para pejabat di Indonesia yang secara teratur menuding sebagian besar pekerja sektor publik sebenarnya adalah ekstremis Islam. Para menteri dan kepala intelijen terus mengecam 'radikalisme' yang ada di birokrat dan guru.

Kekhawatiran semacam itu sebagian berasal dari keterikatan elite penguasa terkait pluralisme agama. Dari 274 juta penduduk Indonesia, sekitar 87 persen merupakan Muslim, yang menjadikan populasi di Indonesia sebagai Muslim terbesar di dunia. Tapi, Indonesia bukan negara Islam. Sekutu Barat telah lama merayakan Indonesia karena menggabungkan kesalehan yang meluas dengan komitmen terhadap nilai-nilai liberal.

Baca: Pendiri Cyrus Network Pasang Alphard Baru Yakin Anies tak Dapat Tiket Pilpres 2024

Sayangnya, serangan para pejabat terhadap PNS terkait radikalisme memiliki tujuan yang kurang mulia. Elite politikus mulai resah pada 2016 ketika kelompok Islamis tersebut muncul sebagai kekuatan politik selama demonstrasi besar besar di Jakarta. Ratusan ribu orang turun ke jalan untuk mengecam pernyataan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang dianggap menghujat Islam. Ahok merupakan sekutu dekat Jokowi.

Dalam bayangan Presiden Soeharto, Jokowi telah merespons fenomena itu dengan represi. Pada 2020, Jokowi melarang Front Pembela Islam (FPI), ketika enam pendukungnya tewas dalam baku tembak dengan polisi pada tahun itu. Jokowi juga menyasar sektor publik. Pada 2019, ia membentuk satuan tugas (satgas) untuk menghapus ekstremis dari jajarannya.

Anggota satgas diambil dari lintas kementerian dan Badan Intelijen Negara (BIN). Pemerintah pun mendorong anggota masyarakat untuk waspada terhadap pandangan ekstremis PNS melalui laman khusus.

Kebijakan pemerintah pun mulai menyaring pelamar PNS untuk menilai keyakinan agama mereka. Instansi pemerintah mengadakan seminar yang dirancang untuk menanamkan loyalitas PNS kepada negara. Bidang keamanan telah mengirimkan daftar anggota pegawai yang diduga memiliki pandangan ekstremis kepada administrator di universitas negeri dan bos BUMN.

Baca: Warganet Kaitkan Kasus Hollywings yang Lecehkan Nama Muhammad dengan Arswendo

Mereka yang disebutkan namanya diperingatkan bahwa pandangannya akan merugikan karier mereka. Daftar tersebut menunjukkan bahwa lembaga negara melakukan pengawasan ekstensif terhadap sektor publik, tulis Gregory Fealy dari Australian National University.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo telah memperingatkan PNS bahwa pemerintah dapat mendeteksi "jejak digital" mereka. Pemerintah membenarkan intruksi semacam itu dengan mengklaim bahwa ekstremisme Muslim “menembus jauh ke dalam organ-organ negara, mengakibatkan penangkapan seluruh bagian birokrasi”, tulis Fealy.

Kekhawatiran tentang radikalisme memiliki beberapa manfaat. Namun, klaim pemerintah atas penangkapan negara oleh para ekstremis dilebih-lebihkan. "Tidak ada bukti yang menunjukkan prevalensi sistemik terorisme atau ekstremisme kekerasan dalam pegawai negeri," kata Sana Jaffrey dari Institute for Policy Analysis of Conflict, sebuah think-tank di Indonesia.

Peneliti di Iseas Yusof Ishak Institute, sebuah think-tank di Singapura, A'an Suryana, mengatakan, dalam dua tahun pertama kampanye anti-ekstremisme pemerintah secara resmi menjatuhkan sanksi hanya kepada 38 PNS. Angka itu merupakan persentase yang sedikit dari 4,3 juta PNS di Indonesia.

Hal itu menandakan pemerintah menggunakan definisi “radikalisme” yang luas. Membuat pernyataan yang “menghina” pemerintah, atau membagikan apa yang dianggap oleh satgas sebagai “berita palsu” di media sosial sudah cukup untuk menarik perhatiannya. Kriteria samar-samar, pada gilirannya, membuat pemerintah mudah untuk mengesampingkan lawan dengan menuduh mereka sebagai ekstremis.

Pada September 2021, sebanyak 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi korban, karena secara langsung ketika mereka dipecat dengan dalih tidak lulus ujian PNS (Tes Wawasan Kebangsaan). KPK selama ini dikenal gigih membasmi korupsi di eselon tertinggi politik Indonesia, menciptakan musuh yang kuat.

Setelah pemecatan pegawai KPK, selebriti di media sosial yang memiliki hubungan dengan pemerintah mengatakan bahwa anggota KPK yang dipecat adalah anggota Taliban.  Salah satu mantan pejabat KPK yang masuk daftar anggota Taliban, Giri Suprapdiono, mengatakan dirinya dan rekan-rekannya justru diberhentikan karena menolak tunduk kepada pemerintah.

Tetapi banyak anggota masyarakat, kata dia, percaya klaim bahwa mereka “radikal”. Hal itu tentu tidak masuk akal. Menurut Giri, justru beberapa dari mereka yang kehilangan pekerjaan di KPK, bahkan bukan Muslim.

Pemerintah “mengaburkan batas antara memiliki pandangan yang kritis terhadap pemerintah, memiliki pandangan Islam, dan hanya disebut teroris”, kata Sana Jaffrey. Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid mengatakan, banyak Muslim konservatif sekarang merasa mereka harus “sangat berhati-hati” ketika mengekspresikan diri mereka di dunia maya. PKS merupakan partai oposisi di Indonesia. Ribuan orang mengalami diskriminasi berdasarkan pandangan agama dan politik mereka, kata Fealy.

Jokowi berharap dengan menindas Muslim konservatif, ia akan mendorong kelompok tersebut untuk memoderasi pandangan mereka, dan dengan demikian melindungi pluralisme negara. Sejak pembunuhan enam pendukung FPI pada 2020, agitasi sekelompok Islam telah mereda. Namun kedamaian yang telah dibeli Jokowi mungkin tidak dapat bertahan lama.

Taktiknya kemungkinan akan membuat marah umat Islam dan mendorong memakai jalur bawah tanah. Pada 7 Juni 2022, Polri mengumumkan penangkapan para pemimpin Khilafatul Muslimin, sebuah kelompok Islam yang mengajar siswa di 31 sekolahnya bahwa Indonesia harus menjadi khilafah.

Akan lebih baik bagi mereka, dan demokrasi Indonesia, jika para siswa diajarkan nilai pluralisme. Sayang sekali bahwa presiden mereka tidak memimpin dengan memberi contoh.

Baca: Viral Shopee Larang Penjual Jam Dinding Kaligrafi Bertuliskan Tauhid

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement