Ahad 26 Jun 2022 00:09 WIB

Pakar UGM: Ambang Batas Capres Nol Persen Justru Bisa Bermasalah

Salah satu konsekuensi adalah semua orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden.

Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Jika ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold diturunkan menjadi nol persen justru berpotensi memunculkan masalah.
Foto: Infografis Republika.co.id
Ilustrasi. Jika ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold diturunkan menjadi nol persen justru berpotensi memunculkan masalah.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menyebutkan, jika ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold diturunkan menjadi nol persen justru berpotensi memunculkan masalah. Jika beberapa pihak mendorong ambang batas pencalonan presiden hingga nol persen, salah satu konsekuensi adalah semua orang akhirnya bisa mencalonkan diri menjadi presiden.

"Saya kira secara teknis itu akan menimbulkan problem yang sangat kompleks atau rumit sekali meski argumentasinya adalah partisipasi masyarakat dan seterusnya. Apalagi kalau diizinkan untuk calon independen tentu akan menimbulkan cerita lain lagi," ujar Mada melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Sabtu (25/6/2022).

Baca Juga

Ia menjelaskan partisipasi memang menjadi salah satu pilar demokrasi. Kendati demikian, harus dikelola sehingga tidak menyulitkan proses demokratisasi.

Mada menuturkan, bukan berarti dengan demokrasi kemudian semua orang boleh berpartisipasi mencalonkan diri sebagai presiden, semua orang boleh ngomong apa saja sebab tentunya akan menjadikan proses demokratisasi terganggu. Dalam demokrasi, menurut dia, tetap harus ada aturannya. 

Berbicara demokrasi tentu bukan hanya pada level wacana atau level narasi, tetapi harus bergerak sampai pada level praksis atau praktik. Apabila sekadar wacana tetapi secara praktik sulit dilakukan, menurut dia, tentu akan menyulitkan proses demokrasi.

"Kalau soal poin-poin besar demokrasi pasti semua setuju, partisipasi semua orang setuju, kontestasi sebagai pilar demokrasi yang equal, adil pasti semua orang setuju, tetapi bagaimana untuk menerjemahkannya dalam praktik bertata negara, dalam praktik pemilu, itu yang kemudian menjadi banyak sekali perdebatan," ujar dia.

Mada mengatakan, wacana soal ambang batas atau presidential threshold sudah lama berkembang. Bahkan, banyak pihak beberapa kali melalui Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review terkait UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Akan tetapi, MK selalu saja menyampaikan jawaban bila legal standing terkait perubahan UU tersebut berada di DPR sebagai lembaga yang memiliki ruang terbuka untuk menafsirkan. Namun, kata dia, sejauh ini dari legal formal UU nomor 7 tahun 2017 tampaknya tidak akan direvisi atau diamendemen oleh fraksi-fraksi di DPR.

"Jadi yang menyoal permasalahan ambang batas ini adalah mereka yang utamanya berhitung bila kemungkinannya sangat tipis untuk berpartisipasi dalam pilpres," ujar Mada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement