Senin 27 Jun 2022 08:11 WIB

Peneliti LP3ES: Situasi Demokrasi Memanas, Belum Ada Koalisi yang 'Deal'

Pemilu harusnya menjadi ajang adu gagasan yang substantif

Red: Stevy maradona
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyampaikan pidato dalam penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (17/6/2022). Pada penutupan Rakernas Partai Nasdem tersebut Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengumumkan 3 nama bakal calon presiden hasil dari hasil Rakernas yaitu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo   Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyampaikan pidato dalam penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (17/6/2022). Pada penutupan Rakernas Partai Nasdem tersebut Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengumumkan 3 nama bakal calon presiden hasil dari hasil Rakernas yaitu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti LP3ES menilai situasi demokrasi di Indonesia saat ini amat panas. Hal ini ditandai dengan maraknya aksi elite politik saling berkunjung satu sama lain beberapa pekan terakhir. Upaya menjaring koalisi terus terjadi, namun dipercaya belum ada satupun koalisi yang sudah 'deal'. Meski demikian, Wijayanto, direktur Media dan Demokrasi LP3ES, menilai justru ada hal yang luput yang dilakukan para politisi tersebut. Apa itu?

"Pemilu 2024 bukan hanya soal koalisi dan hasil survei, tetapi juga isu isu penting," kata Wijayanto dalam webinar Sekolah Demokrasi LP3ES – KITLV – UNDIP – PPI Leiden bertajuk “Mendorong Kelahiran Pemimpin Alternatif Hasil Pemilu 2024” yang digelar tengah pekan lalu hingga akhir pekan lalu.

Menurut dia, Sekolah Demokrasi LP3ES yang kali ini dilaksanakan di Belanda menjadi amat penting mengingat suhu politik di Indonesia yang meninggi. Saat pemilu kian dekat, elit politik tampak hanya sibuk untuk menggalang koalisi, melakukan kampanye untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas. "Namun jarang kita temukan diskusi substantif tentang masalah-masalah publik." kata Wijayanto yang juga peneliti tamu di KITLV Leiden, Belanda itu. 

"Kita menghimbau agar pemilu menjadi festival gagasan di mana politisi saling beradu argument tentang bagaimana mengatasi persoalan publik bangsa seperti kerusakan alam, oligarki, kesenjangan sosial, represi terhadap ruang kebebasan sipil dan banyak hal mendasar lain demi kemajuan bangsa," sambung dia.

Dalam beberapa pekan terakhir, gelanggang politik memang menjadi amat riuh. Ada Partai Golkar, PAN, PPP yang membentuk Koalisi Indonesia Baru (KIB). Kemudian, PKB yang mengeklaim berduet dengan Partai Gerindra untuk mengusung Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar. Kemudian pergerakan Partai Nasdem yang mengumumkan tiga nama hasil penjaringan kader kadernya, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah yang juga kader PDIP Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Andhika Perkasa. 

Partai Demokrat juga kian getol menyambangi para ketum partai yang diincar untuk diajak berkoalisi. Sementara PKS diisukan merapat ke Demokrat maupun Nasdem. Bagaimana PDIP? PDIP yang bisa maju sendiri tanpa koalisi masih relatif adem. Malah Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengatakan kadernya untuk 'out' bila ada yang mengajak-ajak koalisi. 

Karena itu, tidak berlebihan jika disebut Pemilu 2024 adalah pertaruhan keberlangsungan demokrasi. Ia melihat justru muncul tren kemunduran demokrasi yang terus berlangsung.  Arahnya pada putar balik ke arah otoriterisme. Ini ditunjukkan dengan politikus yang doyan mendorong wacana amandemen UUD 1945 terkait masa jabatan presiden. "Ini ancaman serius," kata Wijayanto yang juga dosen di Universitas Diponegoro itu. 

Ia lalu mengutip peneliti politik Indonesia asal Australia, Herbeth Feith,. Feith yang mendalami politik Indonesia sejak Orde Lama , menyebutkan dalam sejarah, ketika konstitusi diingkari di Indonesia, maka yang akan terjadi adalah rentetan otoriterisme masif, seperti yang telah terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement