Kamis 30 Jun 2022 16:39 WIB

RUU DOB Papua Disahkan dan Kekecewaan Majelis Rakyat Papua

MRP mempertanyakan pengesahan RUU DOB Papua tak menunggu putusan MK.

Red: Indira Rezkisari
Suasana rapat paripurna ke-26 masa persidangan V tahun 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Dalam Rapat Paripurna tersebut mengesahkan RUU pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan menjadi Undang-Undang, penyampaian hasil pembahasan pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun 2023 serta rencana kerja pemerintah, penyampaian keterangan pemerintah atas RUU tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN 2021, mengesahkan calon Hakim Agung dan calon Hakim AdHoc Tipikor pada Mahkamah Agung terpilih, dan pengesahan lima RUU provinsi, serta mendengarkan pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU usul inisiatif anggota DPR RI tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta/hp.
Suasana rapat paripurna ke-26 masa persidangan V tahun 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Dalam Rapat Paripurna tersebut mengesahkan RUU pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan menjadi Undang-Undang, penyampaian hasil pembahasan pembicaraan pendahuluan RAPBN tahun 2023 serta rencana kerja pemerintah, penyampaian keterangan pemerintah atas RUU tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN 2021, mengesahkan calon Hakim Agung dan calon Hakim AdHoc Tipikor pada Mahkamah Agung terpilih, dan pengesahan lima RUU provinsi, serta mendengarkan pendapat fraksi-fraksi terhadap RUU usul inisiatif anggota DPR RI tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Flori Sidebang, Nawir Arsyad Akbar

Majelis Rakyat Papua (MRP) menyayangkan langkah pemerintah dan DPR yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan menjadi undang-undang (UU). Menurut Ketua MRP Timotius Murib, pemerintah tak menghargai proses uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua yang tinggal menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga

"Yang sangat disayangkan oleh MRP adalah pemerintah tidak menghargai uji mteri di MK. Seharusnya mereka harus menunggu ada kepastian hukum, ada putusan MK sudah jelas baru pengesahan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang," ujar Timotius, dalam keterangannya, Kamis (30/6/2022).

Timotius menuturkan, gugatan UU 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua itu sebagai bentuk protes MRP terhadap rencana pemekaran wilayah di Bumi Cendrawasih. Dia mengeklaim, terdapat penolakan dari akar rumput terhadap UU Otsus Papua maupun kebijakan pemekaran.

Pasalnya, kata dia, rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) itu tidak disertai dengan kajian ilmiah dan tak melibatkan aspirasi orang asli Papua (OAP) secara menyeluruh. Di samping itu, menurutnya, semua proses hukum diabaikan pemerintah dan DPR.

"Sehingganya tentu saja masyarakat tidak respect atau respons dengan kebijakan negara yang sedang dilakukan saat ini terutama tiga DOB tersebut," kata Timotius.

Selain itu, Timotius menilai, pemerintah tidak memikirkan kepentingan kesejahteraan OAP. Namun, justru hanya memperhatikan kepentingan investasi dengan memburu atau mencari kekayaan alam di Papua.

"Tidak rahasia lagi, ini keinginan untuk memburu kekayaan alam Papua. Sehingga kepentingan rakyat itu diabaikan," tutur dia.

Saat ini MRP namun belum berencana ingin mengajukan gugatan atas tiga UU tentang pembentukan provinsi baru di Papua. MRP akan menunggu janji-janji pemerintah.

"MRP akan menunggu janji-janji pemerintah pusat bagaimana menyejahterakan masyarakat melalui RUU itu, mungkin itu. Karena langkah-langkah MRP sudah maksimal kita lakukan, advokasi di MK, kemudian advokasi media, lain-lain, semua tokoh pusat sudah kita temui dan sudah kita bicara," ucap Timotius.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai, pengesahan tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (RUU DOB) Papua hari ini dilakukan melalui penyelundupan hukum. Sebab, Usman menjelaskan, pengesahan itu dilaksanakan tanpa memenuhi dua mekanisme yang berlaku.

"DOB yang sekarang dituangkan dalam RUU yang akan segera disahkan, ini sebenarnya dilakukan melalui penyelundupan hukum," kata Usman dalam diskusi virtual, Kamis (30/6/2022).

Usman menjelaskan, berdasarkan Pasal 76 UU Otsus Tahun 2001, pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi setidaknya harus memenuhi dua mekanisme. Pertama, dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

"Tanpa persetujuan dua lembaga representasi kultural dan representasi politik orang asli Papua, maka DOB tidak bisa dilakukan," ujarnya.

Mekanisme yang kedua, sambung dia, pemekaran Provinsi Papua dilakukan dengan mempertimbangkan empat faktor, yakni kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, perkembangan ekonomi dan dinamika perkembangan di masa depan. Usman menuturkan, jika merujuk pada Pasal 76 UU Otsus Tahun 2001 atau Pasal 76 ayat 1 UU Otsus Tahun 2021, maka tiga RUU DOB Papua tersebut melanggar hukum atau datang dari penyelundupan hukum.

"Kenapa dikatakan melanggar hukum? Karena dua mekanisme tadi tidak terpenuhi. Tetapi pemerintah beralasan dan ini sebenarnya yang saya sebut sebagai penyelundupan hukum, yaitu pelanggaran dua mekanisme itu dikaburkan dengan adanya ayat kedua yang diselundupkan dalam Pasal 76 UU Otsus Tahun 2021. Sehingga pasal ini memiliki aturan yang bersayap atau bersifat mendua," jelas dia.

Dia menuturkan, mekanisme yang semula wajib mendapat persetujuan MRP dan DPRP justru diubah sepihak oleh pemerintah pusat dan DPR, hingga menjadi tidak wajib. "Mekanisme yang wajib melalui persetujuan MRP dan DPRP dalam konteks pemekaran provinsi, dibuat menjadi tidak efektif dengan penambahan ketentuan ayat 2 Pasal yang sama bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dapat juga dilakukan oleh pemerintah dan DPR pusat," tutur dia.

Usman menambahkan, pengesahan tersebut juga tidak mempertimbangkan faktor kesatuan sosial budaya. Dia melanjutkan, RUU DOB ini akan menjadi payung hukum bagi pembentukan tiga provinsi baru di Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

"Ini tidak serta merta sesuai kesatuan sosial budaya," ungkap Usman.

Provinsi Papua Tengah, jelas dia, tidak bisa dianggap mewakili tanah adat Meepago. Kemudian, Provinsi Pegunungan Tengah juga tak bisa dianggap mewakili tanah adat Lapago, sekalipun sebagian wilayahnya berada di sana.

"Begitupun Provinsi Papua Selatan, tak bisa dianggap cukup mewakili tanah adat Animha," jelasnya.

Selain itu, Usman juga mengkritik DPR dan pemerintah pusat yang seolah-olah tidak mau menunggu keputusan MK atas uji materil UU Otsus Papua. Gugatan ini sudah diajukan oleh MRP bersama dengan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sejak tahun lalu dan hingga kini masih berjalan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement