Sabtu 02 Jul 2022 04:30 WIB

Belajar Menjadi Bangsa yang tidak Gatek Lewat Pembelian BBM dan Minyak Goreng

Pembelian minyak dan BBM bersubsidi lewat aplikasi membutuhkan sosialisasi panjang.

Red: Indira Rezkisari
Petugas membantu warga untuk pendaftaran pembelian BBM Subsidi di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (01/07/2022). PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Patra Niaga menguji coba pendaftaran pembelian BBM subsidi menggunakan laman subsidi.tepat.mypertamina.id, untuk memastikan pemanfaatan subsidi tepat sasaran ke masyarakat.
Foto: ANTARA/Adwit B Pramono
Petugas membantu warga untuk pendaftaran pembelian BBM Subsidi di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (01/07/2022). PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Patra Niaga menguji coba pendaftaran pembelian BBM subsidi menggunakan laman subsidi.tepat.mypertamina.id, untuk memastikan pemanfaatan subsidi tepat sasaran ke masyarakat.

Oleh : Indira Rezkisari, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Warganet Indonesia sejatinya dikenal sebagai pemilik jempol yang aktif dan kadang bermulut bermulut tajam. Keceriwisan di media sosial tersebut namun tidak bisa dijadikan patokan kalau Indonesia merupakan negara dengan kemampuan beradaptasi di dunia digital yang sudah baik pula.

Ketika pemerintah mengharuskan masyarakat membeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalita dan Solar melalui aplikasi, publik pun heboh. Kebijakan tersebut dinilai memberatkan. Padahal maksud pemerintah lewat aplikasi atau pendaftaran terlebih dulu adalah agar pemberian subsidi energi bisa tepat sasaran.

Baca Juga

Meme pun bermunculan soal pengisian BBM di SPBU menggunakan aplikasi. Mulai dari ketidaktahuan cara mengunduh aplikasi, pemilik ponsel tidak memiliki pulsa data, hingga antrean SPBU yang mengular karena masyarakat gagap teknologi.

Pentingnya data kependudukan terkoneksi secara digital sebenarnya sudah lama menjadi impian pemerintah. Dan Indonesia, menurut saya, harus terus mengejar ketinggalan tersebut.

Memang kesannya aneh atau menggelikan atau menyusahkan bila melihat berbagai subsidi dikeluarkan lewat akses digital tersebut. Seperti pembelian minyak goreng curah yang menggunakan pemindai dari PeduliLindungi hingga aplikasi MyPertamina untuk membeli BBM. Intinya Nomor Induk Kependudukan (NIK) dibutuhkan untuk mendeteksi apakah konsumen berhak menerima subsidi pemerintah, salah satu caranya adalah lewat penggunaan ponsel.

Kebijakan tersebut sebenarnya tidak salah. Berdasarkan riset DataReportal yang dirilis di awal tahun ini, tercatat jumlah perangkat seluler yang terkoneksi di Indonesia mencapai 370,1 juta pada Januari 2022. Angka ini meningkat 13 juta atau 3,6 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Jumlah perangkat seluler tersebut dituangkan dalam riset bertajuk Digital 2022: Indonesia. Namun, perangkat seluler mana yang dimaksud dalam laporan tersebut tidak disebut. Sebab perangkat yang terkoneksi dengan internet bukan hanya ponsel cerdas tapi juga tablet.

Tapi angka tersebut menunjukkan tingginya jumlah pemilik perangkat seluler atau gawai yang terkoneksi dengan internet. Angka jumlah gawai lebih tinggi dari jumlah penduduk Indonesia yang ada di kisaran 277 juta jiwa. Hal yang sebenarnya wajar karena beberapa orang memang memiliki lebih dari satu gawai.

Pengguna internet di Indonesia juga terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di awal Juni 2022 mencatat 77 persen penduduk Indonesia sudah menggunakan internet.

Pertumbuhan ini sangat fantastis, sebelum pandemi angkanya hanya 175 juta. Sedangkan data terbaru APJII, tahun 2022 pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 210 juta. Artinya ada penambahan sekitar 35 juta pengguna internet di Indonesia. Di satu sisi, masih ada 20 persen lagi penduduk yang belum mendapatkan layanan internet.

Ini artinya, sebenarnya rakyat Indonesia itu mampu kok menggunakan gawainya untuk kebutuhan penting. Karena data menunjukkan banyak sudah pemilik gawai yang terkoneksi ke internet dan penetrasi internet juga terus meningkat.

Lalu kenapa masih ada keluhan? Ya, tentunya karena masa sosialisasinya terlampau singkat. Apapun itu yang dipaksakan secara terburu-buru, secara tergesa-gesa akan menimbulkan keresahan psikologis. Sama seperti penggunaan PeduliLindungi yang dulu kesannya berat, tapi sekarang biasa saja bukan.

Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, tidak semua konsumen harus memiliki aplikasi MyPertamina. Namun konsumen harus mendaftarkan diri di website subsiditepat.mypertamina.id. Pendaftaran khusus untuk kendaraan roda empat.

Pendaftaran fokus untuk melakukan pencocokan data antara yang didaftarkan oleh masyarakat dengan dokumen dan data kendaraan yang dimiliki. Setelah statusnya terdaftar, masyarakat akan mendapatkan kode QR yang akan diterima melalui notifikasi pada laman subsiditepat.mypertamina.id ataupun melalui surat elektronik. Kode QR itu bisa dicetak dan dibawa ke SPBU, sehingga tidak wajib mengunduh aplikasi MyPertamina atau membawa ponsel ke SPBU.

Pertamina membuka pendaftaran kendaraan dan identitas bagi para pemilik kendaraan terhitung mulai 1 Juli 2022 sampai 30 Juli 2022. Selama masa pendaftaran dan transisi ini, konsumen masih tetap bisa membeli Pertalite dan Solar secara manual.

Irto memastikan pelaksanaan pendaftaran melalui laman tersebut bukan untuk menyulitkan masyarakat, namun untuk melindungi masyarakat rentan yang sebenarnya berhak menikmati subsidi energi. Menurutnya, tujuan pendataan adalah untuk melindungi masyarakat rentan dan memastikan subsidi energi yang tepat sasaran, sehingga anggaran yang sudah dialokasikan pemerintah bisa tersalurkan dengan tepat sasaran.

BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar saat ini masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat golongan menengah ke atas dengan komposisi hampir 60 persen terkaya menikmati hampir dari 80 persen dari total konsumsi BBM subsidi. Sedangkan masyarakat miskin dan rentan atau 40 persen terbawah hanya menikmati sekitar 20 persen dari BBM bersubsidi tersebut. Jumlah subsidi yang dikeluarkan pemerintah juga besar yaitu hingga Rp 520 triliun yang sebagian besar adalah BBM bersubsidi.

Nah, karena itu anggap saja masyarakat Indonesia sekarang sedang didorong untuk menggunakan gawainua pula untuk kebutuhan publik yang lebih luas. Bukan sekadar untuk berkomunikasi, melihat Youtube, merekam TikTok, tapi juga sebagai pusat data yang terkoneksi ke kebutuhan publik.

Ke depan tebakan saya berbagai kebutuhan publik nantinya akan bisa diakses melalui gawai kita. Salah satu yang sudah diwacanakan adalah untuk pembelian LPG tiga kilogram atau gas melon yang bersubsidi.

Sedih loh saya melihat warga bermobil mewah (maksudnya cc besar), atau konsumen yang mampu liburan ke luar negeri, tapi menggunakan subsidi pemerintah lewat gas melon. Pendataan diharapkan membuat penggunaan gas melon alias subsidi dari pemerintah bisa lebih tepat sasaran.

Saya percaya Indonesia harus maju ke depan lewat berbagai platform digital. Sekarang mungkin rasanya berat, tapi ke depan hal ini dibutuhkan. Jangan sampai kita ketinggalan hanya karena enggan belajar dan enggan menceburkan diri ke duniat digital untuk publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement