Selasa 05 Jul 2022 15:22 WIB

Dugaan Penyelewengan Dana ACT Bisa Berujung Pembekuan Izin

Kemensos akan segera memanggil petinggi ACT terkait dugaan penyelewengan dana.

Red: Indira Rezkisari
Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar (kanan) didampingi Anggota Dewan Pembina Yayasan ACT Bobby Herwibowo (kiri) menyampaikan keterangan pers di Gedung ACT, Menara 165, Jakarta, Senin (4/7/2022). Dalam konferensi pers tersebut Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan permintaan maaf kepada donatur dan masyarakat Indonesia sekaligus melakukan klarifikasi terkait pemberitaan dalam majalah Tempo dengan judul Kantong Bocor Dana Umat edisi Sabtu 2 Juli 2022.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar (kanan) didampingi Anggota Dewan Pembina Yayasan ACT Bobby Herwibowo (kiri) menyampaikan keterangan pers di Gedung ACT, Menara 165, Jakarta, Senin (4/7/2022). Dalam konferensi pers tersebut Lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) menyampaikan permintaan maaf kepada donatur dan masyarakat Indonesia sekaligus melakukan klarifikasi terkait pemberitaan dalam majalah Tempo dengan judul Kantong Bocor Dana Umat edisi Sabtu 2 Juli 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Umar Mukhtar, Fuji Eka Permana

Dugaan penyelewengan dana donasi umat oleh pimpinan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) membuat Kementerian Sosial (Kemensos) akan segera melakukan pemeriksaan. Izin operasi ACT bisa terancam dicabut jika terbukti melakukan pelanggaran.

Baca Juga

"Kementerian Sosial akan memanggil pimpinan ACT, yang akan dihadiri oleh tim Inspektorat Jenderal untuk mendengar keterangan dari apa yang telah diberitakan di media massa dan akan memastikan, apakah ACT telah melakukan penyimpangan dari ketentuan. Termasuk menelusuri apakah terjadi indikasi penggelapan oleh pengelola," kata Sekretaris Jenderal Kemensos Harry Hikmat dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/7/2022).

Inspektorat Jenderal Kemensos, kata Harry, berwenang melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Beleid tersebut juga memberikan Kemensos wewenang untuk mencabut maupun membatalkan izin PUB suatu lembaga.

Harry menyebut, jika dalam pemeriksaan pimpinan ACT nanti ditemukan indikasi penyimpangan dan penggelapan, maka Kemensos akan membekukan sementara izin PUB lembaga ACT hingga proses pengusutan rampung. Jika pada akhirnya indikasi itu terbukti benar adanya, maka Kemensos akan menjatuhkan sanksi berupa teguran secara tertulis, penangguhan izin, hingga pencabutan izin.

 

"Bahkan bisa ditindaklanjuti dengan sanksi pidana. Apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," kata Harry.

Kasus ACT mencuat ke publik akibat laporan Majalah Tempo yang menyebut ada dugaan penyelewengan dana sumbangan masyarakat. Laporan itu menyatakan, dana donasi umat digunakan untuk kepentingan pribadi para pejabat lembaga tersebut beserta keluarganya.

Besaran gaji para pejabat ACT juga jadi sorotan. Dalam laporan itu disebutkan bahwa gaji Ketua Dewan Pembina ACT disebut-sebut sekitar Rp 250 juta. Sedangkan pejabat di bawahnya seperti Senior Vice Presiden menerima sekitar Rp 150 juta, Vice Presiden Rp 80 juta, direktur eksekutif Rp 50 juta, dan direktur Rp 30 juta per bulan.

Presiden ACT Ibnu Khajar menampik besaran gaji tersebut dan tak tahu-menahu mengenai besaran yang diungkap media itu. Tapi, ia enggan membuka berapa besaran asli yang diterima para petinggi ACT.

Ketua Umum Forum Zakat (Foz) Bambang Suherman menyampaikan, konstruksi regulasi dan mekanisme pengawasan bagi organisasi pengelola zakat (OPZ) di Indonesia sangat ketat dan rigid. Berdasarkan Undang-Undang 23/Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, terdapat mekanisme pengawasan yang berlapis dan melibatkan pemangku kepentingan yang beragam.

"Seperti Kementerian Agama, Baznas, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan lain sebagainya yang turut meminimalkan potensi penyelewengan dana publik serta peluang conflict of interest di dalam tubuh organisasi pengelola zakat," kata dia dalam keterangan pers yang diterima, menyikapi maraknya isu yang beredar terkait pengelolaan dana kedermawanan sosial keagamaan, Selasa.

Bambang menuturkan, mekanisme pengawasan OPZ terdiri dari pengawasan internal. Mencakup audit internal serta pengawas syariah yang terakreditasi oleh MUI. Kemudian mekanisme pengawasan eksternalyang melibatkan audit kepatuhan syariah oleh Kementerian Agama, dan pelaporan rutin per semester kepada Baznas.

"Lebih lanjut, regulasi juga mewajibkan setiap OPZ untuk diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dan mempublikasikannya melalui kanal komunikasi yang tersedia," ujarnya.

Forum Zakat, sebagai asosiasi yang menaungi 196 OPZ di Indonesia, juga menyampaikan bahwa saat ini telah tersusun dan disahkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang pengelolaan zakat sebagai wujud nyata penguatan ekosistem zakat yang menjunjung tinggi transparansi pengelolaan keuangan dan akuntabilitas program serta manajemen organisasi pengelola zakat.

"Penggunan alokasi dana operasional OPZ diatur sangat ketat mengacu pada Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2020 tentang Amil Zakat dan Keputusan Menteri Agama Nomor 606 tahun 2020 tentang Pedoman Audit Syariah yaitu tidak melebihi 1/8 atau 12,5 persen dari jumlah penghimpunan dana zakat dan 20 persen dari jumlah dana infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dalam satu tahun," jelas Bambang.

Bambang juga mengatakan, konstruksi regulasi, mekanisme pengawasan, kode etik lembaga, serta standar kompetensi tersebut hanya berlaku bagi OPZ di bawah payung hukum Undang-Undang 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Di luar entitas tersebut, payung hukum dan mekanisme pengawasan yang dijadikan acuan berbeda serta tidak menjadi bagian dari ekosistem zakat.

"Dalam hal ini, Forum Zakat menyatakan ACT (Aksi Cepat Tanggap) bukan bagian dari organisasi pengelola zakat," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement