Sabtu 09 Jul 2022 18:55 WIB

Demonstran Serbu Kediaman Presiden Sri Lanka

Sri Lanka terjebak ke dalam krisis finansial terburuk dalam tujuh dasawarsa terakhir.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Dwi Murdaningsih
Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Negara ini menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam ingatan baru-baru ini. Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Negara ini menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam ingatan baru-baru ini. Eine angeheuerte Hand trinkt Tee auf einem Markt in Colombo, Sri Lanka, Freitag, 10. Juni 2022. Das Land steht vor der schlimmsten Wirtschaftskrise der jüngsten Vergangenheit. Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Negara ini menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam ingatannya belakangan ini. Ein Lohnarbeiter trinkt Tee auf einem Markt in Colombo, Sri Lanka, Freitag, 10. Juni 2022. Das Land steht vor der schlimmsten Wirtschaftskrise der jüngsten Vergangenheit.
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Negara ini menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam ingatan baru-baru ini. Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Negara ini menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam ingatan baru-baru ini. Eine angeheuerte Hand trinkt Tee auf einem Markt in Colombo, Sri Lanka, Freitag, 10. Juni 2022. Das Land steht vor der schlimmsten Wirtschaftskrise der jüngsten Vergangenheit. Seorang buruh upahan minum teh di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 10 Juni 2022. Negara ini menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam ingatannya belakangan ini. Ein Lohnarbeiter trinkt Tee auf einem Markt in Colombo, Sri Lanka, Freitag, 10. Juni 2022. Das Land steht vor der schlimmsten Wirtschaftskrise der jüngsten Vergangenheit.

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Ribuan demonstran di Kolombo, Sri Lanka, menerobos barikade polisi dan menyerbu kediaman resmi presiden pada Sabtu (9/7/202). Insiden itu terjadi selama gelombang protes terbesar tahun ini di negara yang terhantam krisis tersebut.

Sejumlah demonstran yang membawa bendera Sri Lanka dan mengenakan helm menyerbu masuk ke kediaman presiden, menurut tayangan TV berita NewsFirst. Negara pulau berpenduduk 22 juta jiwa itu sedang mengalami kelangkaan devisa parah.

Baca Juga

Akibatnya, Sri Lanka sulit mengimpor bahan bakar, pangan dan obat-obatan. Sri Lanka juga terjerumus ke dalam krisis finansial terburuk dalam tujuh dasawarsa terakhir.

Banyak kalangan menyalahkan keterpurukan negara itu pada Presiden Gotabaya Rajapaksa. Sebagian besar protes damai yang digelar sejak Maret telah menuntut pengunduran dirinya.

Menurut saksi, ribuan orang membanjiri distrik pemerintah di Kolombo sambil meneriakkan slogan-slogan anti presiden dan menyingkirkan sejumlah barikade polisi ketika bergerak menuju kediaman Rajapaksa. Polisi menembakkan peluru ke udara tetapi tak mampu menghentikan massa yang marah mengepung kediaman presiden.

Reuters belum bisa memastikan keberadaan sang presiden. Meski kelangkaan bahan bakar telah menghentikan layanan transportasi, para demonstran menumpang bus, kereta dan truk dari beberapa wilayah negara itu untuk mencapai Kolombo.

Mereka memprotes kegagalan pemerintah melindungi mereka dari kehancuran ekonomi. Ketidakpuasan makin menjadi-jadi dalam beberapa pekan terakhir ketika negara itu berhenti mengimpor bahan bakar, yang mendorong penutupan sekolah dan penjatahan bensin dan solar untuk layanan esensial.

Sampath Perera, nelayan berusia 37 tahun, menumpang sebuah bus yang sesak dari kota pinggir laut Negombo, 45 km dari Kolombo, untuk ikut berunjuk rasa."Kami sudah memberi tahu Gota berulang kali untuk pulang tetapi dia masih memegang erat kekuasaannya. Kami tak akan berhenti sampai dia mendengarkan kami," kata Perera.

Bersama jutaan orang lainnya, dia menjadi korban kelangkaan bahan bakar yang kronis dan inflasi yang mencapai 54,6 persen pada Juni. Instabilitas politik dapat mengganggu pembicaraan Sri Lanka dengan Dana Moneter Internasional untuk mendapatkan dana talangan 3 miliar dolar AS (Rp44,93 triliun).

Situasi itu juga menghambat upaya Sri Lanka untuk mendapatkan restrukturisasi sejumlah utang luar negeri dan mengumpulkan dana dari sumber multilateral dan bilateral untuk mengatasi kekurangan devisa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement