Kamis 14 Jul 2022 19:03 WIB

Pengamat Sorot Dua Fenomena dalam PPDB 2022/2023

Salah satu isu, yakni masih adanya pemikiran sekolah negeri favorit.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Dua isu yang jadi sorotan pada PPDB tahun ini, yakni masih adanya pemikiran sekolah negeri favorit dan adanya sekolah dasar (SD) yang minim menerima siswa baru
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi. Dua isu yang jadi sorotan pada PPDB tahun ini, yakni masih adanya pemikiran sekolah negeri favorit dan adanya sekolah dasar (SD) yang minim menerima siswa baru

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati dan praktisi pendidikan, Indra Charismiadji, tidak melihat adanya kehebohan dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajar 2022/2023. Namun, ada dua isu atau fenomena yang dia soroti tahun ini, yakni masih adanya pemikiran sekolah negeri favorit dan adanya sekolah dasar (SD) yang minim menerima siswa baru. 

"Yang jelas stigma sekolah negeri favorit itu ternyata masih muncul bahkan bukan hanya di orang tua, tapi di pemerintahnya sendiri. Jadi tidak paham konsep pelayanan publik itu seperti apa," ujar Indra lewat sambungan telepon, Kamis (14/7/2022).

Baca Juga

Indra menjelaskan, hal itu dapat terlihat dari masih adanya kasus-kasus penitipan siswa lewat surat oleh anggota dewan dan kepala daerah. Menurut dia, hal tersebut menunjukkan, para pejabat daerah dan anggota dewan masih belum memahami konsep zonasi dan seperti apa kebutuhan di Indonesia. 

Dia mengatakan, semestinya pemikiran seperti itu tidak boleh ada lagi. "Sekolah negeri itu tidak boleh ada sekolah favorit. Layanannya kan harus sama karena tidak berbayar. Kalau ada yang favorit kan berarti layanannya berbeda. Itu kan berarti ada diskriminasi. Itu yang masih terjadi sampai hari ini," kata dia.

Fenomena lainnya yang muncul pada PPDB tahun ini adalah munculnya beberapa SD negeri yang tidak punya siswa. Dia mengetahui ada SD negeri yang hanya menerima sedikit siswa, bahkan ada yang hanya satu siswa. Hal tersebut, kata dia, seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah daerah sejak lama dengan menggunakan data yang mereka miliki di wilayahnya.

"Saya ambil contoh saja, kemarin baru ke kota Solo, kan muncul berita SD Sriwedari siswanya cuma satu. Tapi menariknya, di Solo itu masih ada sekitar tujuh persen anak usia SD yang belum bersekolah. Jadi kan menurut saya pemerintah daerahnya tidak tanggap untuk melihat kondisi," jelas dia.

Pemerintah daerah, kata dia, masih membiarkan saja proses PPDB berjalan seperti yang sudah-sudah. Padahal dengan zonasi pemerintah daerah seharusnya mencari semua anak yang ada di kota atau kabupaten tempat mereka bertugas. Setiap anak, kata dia, itu harus diberikan akses untuk bersekolah.

"Kenapa? Karena itu adalah perintah konstitusi. Setiap warga negara wajib mendapatkan pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Jadi itu bukan pilihan, tapi kewajiban," tutur Indra. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement