Ahad 17 Jul 2022 12:31 WIB

BI: Bank Sentral Dunia Hadapi Tantangan yang Sangat Kompleks

Dunia sedang menghadapi inflasi yang meningkat.

Red: Friska Yolandha
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keterangan saat konferensi pers hasil 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (16/7/2022). Pertemuan FMCBG Ke-3 berhasil menyepakati sejumlah inisiatif dan kesepakatan terkait persoalan keuangan dunia.
Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan keterangan saat konferensi pers hasil 3rd Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (16/7/2022). Pertemuan FMCBG Ke-3 berhasil menyepakati sejumlah inisiatif dan kesepakatan terkait persoalan keuangan dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan seluruh bank sentral dunia kini sedang menghadapi tantangan yang sangat kompleks. Mulai dari dampak perang, rantai gangguan global, hingga gejolak keuangan global.

"Kita sedang menghadapi masalah yang mempengaruhi stabilitas moneter dan keuangan saat ini," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Gala Seminar G20 2022 di Nusa Dua, Badung, Bali, Ahad (17/7/2022).

Baca Juga

Ia menuturkan dunia sedang menghadapi inflasi yang meningkat. Persoalannya, lonjakan inflasi kali ini berasal dari sisi suplai lantaran adanya gangguan rantai pasokan global serta dampak perang di Ukraina.

Tetapi jika peningkatan inflasi berasal dari sisi suplai, beberapa negara, termasuk sejumlah negara berkembang, juga mengalami peningkatan dari sisi permintaan di dalam negeri mereka. Dengan begitu,Perry menyebutkan, permasalahan tersebut harus bisa dipikirkan dengan baik dan hati-hati apakah perlu diatasi seluruh permasalahannya dengan kenaikan suku bunga acuan atau diperlukan pula merespons dari sisi pasokan.

Selain itu, lanjutnya, dunia kini juga sedang merasakan dampak dari kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (Fed) dan kenaikan suku bunga bank sentral lainnya. "Tentu saja mandat domestik masing-masing perlu didahulukan, tetapi bagaimana mengatasi dampak tersebut dalam ekonomi global yang sangat terbuka? Bagaimana dampaknya terhadap arus modal dan volatilitas nilai tukar? Apakah suku bunga cukup untuk mengatasi, tidak hanya inflasi tetapi juga dampak rambatan arus modal dan aspek lainnya," ucap Perry.

Maka dari itu, ia berpendapat hal tersebut menjadi masalah terutama karena dalam stabilitas keuangan, bank sentral masih menangani efek luka memar alias scarring effects. Adapun dari luka memar tersebut, beberapa sektor terlihat sudah pulih. Namun masih ada beberapa perusahaan lain yang masih dalam proses pemulihan.

Oleh karenanya, Perry menilai seluruh permasalahan tersebut sangat menantang dan kompleks untuk bank sentral di seluruh dunia, khususnya bagaimana menyeimbangkan untuk mengembalikan stabilitas harga. Tetapi pada saat yang bersamaan, bank sentral juga harus mengatasi volatilitas arus modal dan nilai tukar, namun tetap tidak memperburuk perlambatan ekonomi global.

"Ini adalah pekerjaan yang sangat kompleks, episode yang sangat berbeda dari masa lalu yang sebagian besar masalah datang dari permintaan dan semua dari sektor keuangan. Kali ini, banyak dari mereka datang dari sisi suplai," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement