Rabu 20 Jul 2022 13:04 WIB

Liberated Young People 'SCBD'

Media sosial TikTok memicu munculnya subkultur baru.

Red: Andri Saubani
Pegiat TikTok, Bonge (kanan) dan Jeje (kiri) menyapa dari atas mobil di kawasan Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (14/7/2022). Belakangan viral fenomena Citayam Fashion Week, yakni para remaja yang berasal dari Citayam, Bojonggede, Depok saban hari nongkrong di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Pegiat TikTok, Bonge (kanan) dan Jeje (kiri) menyapa dari atas mobil di kawasan Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (14/7/2022). Belakangan viral fenomena Citayam Fashion Week, yakni para remaja yang berasal dari Citayam, Bojonggede, Depok saban hari nongkrong di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dadang Kurnia, Wahyu Suryana, Zainur Mashir Ramadhan

Belakangan viral fenomena sekumpulan remaja berpakaian modis dengan gaya street-style saban hari nongkrong di Stasiun BNI City, Dukuh Atas, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Mereka bahkan menggelar 'peragaan busana' mondar-mandir di zebra cross dekat stasiun dengan label Citayam Fashion Week (CFW).

Baca Juga

Guru besar bidang media Universitas Airlangga (Unair) Rachmah Ida, ikut mengomentari gelaran CFW itu. Prof Ida menilai, fenomena ini merupakan sebuah contoh ketika anak muda tidak mendapat ruang oleh budaya mainstream yang sering dikuasai mereka yang punya uang.

“Mereka melihat area tersebut merupakan ruang publik baru yang selama ini tidak mereka dapatkan di media massa atau ruang publik yang terlalu elite,” kata Ida, Rabu (20/7/2022).

Menurut Ida, tren busana yang selama ini disetir oleh kalangan menengah ke atas berusaha diubah oleh fenomena ini. Anak-anak muda tersebut, lanjut Ida, mencoba melakukan dekonstruksi terhadap barang-barang fashion yang tidak dapat dijangkau oleh orang-orang di jalan dengan menyajikan fashion jalanan yang tidak kalah menariknya.

"Tentunya dengan fashion yang biasa dinikmati oleh kalangan middle-upper class," ujarnya.

Menurut Ida, busana yang dipakai kumpulan remaja di Citayam itu mengartikulasikan kreativitas dalam berpakaian keren tanpa adanya merek-merek ternama dan elite. Mereka seolah ingin mengkomunikasikan bahwa ini adalah urban street fashion yang selama ini termarjinalkan, tidak diperhatikan, dan bahkan tidak mampu diakomodasi oleh media populer karena dianggap tidak laku.

Bila dilihat dari tampilan, kata Ida, gaya yang ditunjukan di CFW cenderung unik dan berbeda. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk dari liberated young people, yakni keinginan anak muda untuk membebaskan diri dari kungkungan kapitalisme melalui busana.

Ida berpendapat, keberadaan media sosial TikTok dapat mendorong munculnya subkultur baru. TikTok menjadi media sosial gratis yang diminati, termasuk pada middle-lower class, sehingga subkultur yang selama ini termarjinalkan, tidak ada tempat, bisa menjadi bermunculan.

Ida pun memuji keberanian kelompok remaja di CFW yang menunjukan eksistensi lewat busana. Menurutnya itu merupakan sebuah keberanian mengutarakan kebebasan berpakaian.

“Selama ini, secara tidak sadar busana telah dikotak-kotakan. Ini busana identitas desa, identitas kota, dan sebagainya,” kata Ida.

Kemunculan fenomena CFW dimaknai Prof Ida sebagai kemunculan subkultur yang harus bisa diterima. Artinya, kata dia, jangan hanya budaya yang dimiliki kaum elite saja yang diterima, namun budaya yang lain juga punya kesempatan untuk menunjukan eksistensi identitas mereka.

Adapun sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Derajat Sulistyo Widhyarto menilai, Citayam Fashion Week bagian pembentukan budaya baru yang dilakukan anak muda, sehingga perlu diapresiasi. Salah satu karakter kaum muda pencipta budaya dan kebudayaan youth culture.

"Fenomena Citayam mempunyai efek budaya dari kebudayaan tersebut," kata Derajat.

Kemunculan mereka yang menggunakan area publik pusat kota sebagai lokasi unjuk ekspresi dan memilih gaya busana sebagai pilihan budaya baru dirasa brilian. Sebab, gaya busana bagian budaya yang bisa diterima seluruh lapisan masyarakat.

"Ruang kota menawarkan tantangan baru yakni kesempatan untuk mendorong pembentukan budaya mengikuti budaya yang bisa diterima adalah fashion," ujar Derajat.

Mereka yang melakukan peragaan busana umumnya dari kota-kota penyangga Jakarta. Bahkan, berasal dari keluarga menengah ke bawah, seakan menunjukkan melawan arus fenomena budaya konsumerisme dan pamer kemewahan pegiat medsos dan influencer.

Mereka memang kalah bertarung dengan kaum muda menengah ke atas yang sudah masuk ruang bisnis kota. Citayam representasi kaum muda menengah ke bawah dan menjadi bagian eksistensi baru mereka mengisi ruang kota dan pembentuk budaya muda kota.

Meski begitu, Derajat melihat, kaum muda ini juga menggunakan media digital demi memperkuat gaung ruang ekspresi budaya baru mereka. Kaum muda di sekitar Jakarta paham betul Jakarta ruang yang bisa mewakili daya tarik dan tingkatkan penonton.

"Maka, mereka dengan sadar menjadikan Jakarta sebagai ruang penciptaan budaya," kata Derajat.

Namun, salah satu yang disoroti oleh Derajat  cara gaya busana yang digunakan komunitas Citayam ini, memilih menggunakan baju pinjaman atau membeli dengan harga murah. Yang mana, berbeda dengan yang dilakukan oleh kaum muda perkotaan.

"Menggunakan baju pinjaman sampai membeli dengan harga murah, ini yang membentuk kritik konsumsi fashion kaum muda kota yang terjebak memakai baju produk industri," ujar Derajat.

In Picture: Pemprov DKI Akan Tertibkan Pengunjung SCBD Terkait PPKM Level 1

photo
Sejumlah warga berbincang di kawasan Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Kamis (14/7/2022). Pemprov DKI Jakarta akan melakukan penertiban bagi masyarakat yang duduk-duduk dan berkumpul di kawasan tersebut diatas pukul 22.00 WIB, sesuai ketentuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1. - (ANTARA/Muhammad Adimaja)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement