Kamis 21 Jul 2022 17:31 WIB

Apkasindo Minta Pemerintah Cabut Kebijakan DMO, DPO, dan FO Sawit

Kebijakan itu dinilai tak lagi relevan bahkan memberikan dampak buruk pada petani.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) sawit ke atas mobil di Tarailu, Mamuju, Sulawesi Barat, Ahad (23/05/2021). Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah untuk merelaksasi kebijakan domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), serta Flush Out (FO) minyak sawit atau CPO.
Foto: AKBAR TADO/ANTARA
Pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) sawit ke atas mobil di Tarailu, Mamuju, Sulawesi Barat, Ahad (23/05/2021). Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah untuk merelaksasi kebijakan domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), serta Flush Out (FO) minyak sawit atau CPO.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah untuk merelaksasi kebijakan domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), serta Flush Out (FO) minyak sawit atau CPO. Sebab, kebijakan itu dinilai tak lagi relevan bahkan memberikan dampak buruk pada rendahnya harga tandan buah segar (TBS) sawit petani.

Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, mengatakan, kebijakan DMO dan DPO saat ini sudah tidak diperlukan karena pasokan CPO Indonesia telah melimpah. Tercatat, stok CPO nasional per bulan sudah mencapai 7,2 juta ton atau lebih dari dua kali lipat rata-rata stok 3 juta ton per bulan.

Baca Juga

Sementara, harga tender KPBN CPO saat ini justru hanya Rp 9.100 per kg, di bawah dari DPO yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 10.700 per kg.

"Harga riil di pasar saja sudah di bawah Rp 10 ribu, masak harga DPO lebih mahal dari harga riil? Jadi otomatis tidak perlu lagi dengan sendirinya," kata Gulat dalam sebuah webinar, Kamis (21/7/2022).

Lebih lanjut terkait kebijakan FO, Gulat mengingatkan, sesuai aturan Kemenkeu kebijakan ini seharusnya berakhir pada 30 Juni 2022 sedangkan Juli merupakan waktu eksekusi bagi pengusaha yang sudah memenuhi kebijakan tersebut.

Sebagai catatan, FO merupakan kebijakan percepatan ekspor CPO bagi eksportir yang tidak tergabung dalam kebijakan minyak goreng curah rakyat yang diharuskan memasok untuk dalam negeri. Pengusaha dapat mengekspor tanpa memasok dalam negeri namun dengan membayar 200 dolar AS per ton.

Gulat pun menekankan, kebijakan DMO, DPO, dan FO menjadi beban-beban biaya yang akhirnya terakumulasi dalam harga tender KPBN. Alhasil, meskipun pemerintah telah menghapus pungutan ekspor sawit, harga CPO Indonesia belum sesuai dengan harga internasional yang itu pun berdampak pada harga TBS yang rendah.

Rata-rata harga CPO dunia saat ini masih berada pada kisaran Rp 16 ribu per kg, sementara harga CPO Indonesia hanya Rp 9.100 per kg.

Lebih lanjut, ia menambahkan, ke depan pemerintah harus memiliki referensi harga yang tetap dan mengacu pada aturan pemerintah. Saat ini, harga CPO Indonesia justru ditentukan dari tender KPBN padahal pemerintah telah memiliki Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 55 Tahun 2015.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute, Tungkot Sipayung, mengatakan hal senada. Setelah larangan ekspor dicabut, kebijakan DMO dan DPO sangat berdampak pada turunnya harga TBS. Sebab, DMO dan DPO memperlambat ekspor dan menghambat pengeluaran pasokan CPO dari tangki.

Alhasil, ketika kapasitas tangki penuh, kemampuan penyerapan TBS menjadi tidak maksimal dan petani yang menjadi pihak dirugikan. Tungkot mengatakan, kebijakan DMO, DPO maupun FO hampir tidak berguna untuk saat ini. Sebab, pemerintah harus dapat mendukung pengosongan tangki CPO.

"Sawit kita sedang tidak baik-baik saja, ini harus kita pulihkan karena menyangkut 17,3 juta tenaga kerja dan 70 juta rakyat," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement