Kamis 28 Jul 2022 06:00 WIB

Kepada Anak-anaklah Kita Harus Belajar

Semakin dewasa seharusnya semakin paham nilai kejujuran.

Red: Muhammad Hafil
Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK
Foto: Dok Republika
Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK

 

Baca Juga

Bermain di tanah lapang, baru pulang saat azan magrib berkumandang. Kembali ke rumah dengan baju berlumur tanah, yang tak hilang walau seratus kali dicuci. Lelah penuh peluh, tapi tawa dan senyum tak juga luruh. Selepas magrib mengaji di surau, masih juga sempat bersenda gurau. Pulang mengaji malam telah pekat. Jalan kaki tak takut gelap karena canda tawa sepanjang jalan. Tidur dengan hati senang, berharap esok segera datang.

Rasanya tidak akan ada yang menentang ungkapan: Masa kecil adalah masa paling indah. Tidak perlu mainan mahal dan mewah untuk bisa bahagia. Mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali sudah bisa bikin girang seharian. Pelepah pisang bisa jadi kuda-kudaan atau senapan perang. Kesederhanaan yang dibalut kreativitas ternyata bisa sangat menyejukkan.

Masa kecil memang tidak akan terulang, tapi bisa jadi pelajaran buat kita. Coba diingat-ingat,  saat kita masih anak-anak, rasanya takut sekali berbohong. Ngeri masuk neraka. Saat kecil, solidaritas kita juga sangat tinggi. Kawan terjatuh, kita papah untuk bisa berjalan sampai ke rumah. Keberanian kita juga luar biasa, memacu sepeda di turunan yang curam, tidak takut terpelanting. 

Namun, lihatlah kondisi sebagian dari kita sekarang. Ringan saja kita berbohong, seakan tak akan tersentuh api neraka. Teman makan teman. Nyali juga sudah menciut karena sejuta pertimbangan. Bukannya hendak mengajari ikan berenang atau limau berduri, tapi layak kiranya kita ambil pelajaran dari anak-anak.

Bicara nilai-nilai integritas, sepertinya anak-anak yang telanjang kaki dan berlumur tanah lebih menguasainya. Seharusnya semakin dewasa, kita semakin paham soal kejujuran dan kepedulian. Akan tetapi, nyatanya, orang-orang dewasalah yang korupsi. Bukan hanya segelintir dari mereka, tapi banyak sekali.

Menilik dari sistem kerja otak, manusia dewasa dominan menggunakan prefrontal korteks, bagian otak yang berpikir secara rasional. Sementara anak-anak dan remaja lebih banyak menggunakan amigdala, bagian otak yang memproses emosi dan perilaku. Artinya anak-anak lebih memakai emosi mereka di keseharian. Senang ya tertawa, sedih ya menangis. Sedangkan manusia dewasa lebih rasional, banyak pikir panjang soal konsekuensi di masa mendatang.

Kebanyakan pertimbangan atas dasar rasionalisme ini membuat manusia dewasa selalu diliputi rasa takut dan resah. Takut miskin, takut karier mandek, takut cinta ditolak, takut sakit, sampai takut mati. 

Beban yang menghimpit memicu insekuritas pada manusia dewasa. Mereka menjadi sangat kompetitif demi memastikan keamanan masa depan. Terjadilah rat race, perlombaan tanpa ujung mencari kekuasaan dan kemakmuran. Maka tak heran jika frasa "Survival of the fittest" milik Charles Darwin mewujud di ranah manusia dewasa. Siapa terkuat, dialah yang bertahan. 

Desakan untuk meniadakan ketakutan dan memenangkan kompetisi memaksa manusia dewasa untuk tidak jujur. Segala cara ditempuh, jegal menjegal biasa saja, korupsi seakan tanpa dosa. Setelah mendapatkan apa maunya, apakah orang dewasa akan beristirahat? Tentu tidak. 

Abraham Maslow dalam Piramida Hirarki Kebutuhan menunjukkan puncak pencapaian seseorang adalah aktualisasi diri. Namun hanya sebagian yang mencapai aktualisasi diri tersebut. Setelah berhasil menapaki seluruh kemapanan dalam tangga Hirarki Kebutuhan, manusia tidak beristirahat di puncaknya, tapi terus melaju. Ada rasa tak pernah puas dari manusia-manusia dewasa ini. Pada akhirnya, keserakahan yang berkuasa. 

Statistik KPK menunjukkan para koruptor adalah orang-orang berada. Harta mereka cukup, bahkan berlebih. Sebagian bahkan telah memuncaki tangga karier dan prestasi. Keserakahan membuat mereka tidak bersyukur, selalu merasa kurang, ingin lebih dan lebih lagi. Rezeki yang mereka dapat seakan tidak mampu mengenyangkan perut. Akhirnya terjadilah korupsi.

Saya yakin, para koruptor itu telah menjalani masa kecil yang bahagia, dengan kepolosan dan kejujuran yang tanpa cela. Namun, berjalannya waktu telah mengubah anak-anak kecil itu menjadi seorang pesakitan.

Dengan kenaifannya, anak-anak tentu saja tidak tahu apa itu korupsi. Anak-anak juga tidak akan bertanya mengapa sekolah mereka ambruk karena tak kunjung direnovasi. Anak-anak juga tidak bertanya kenapa ruang bermain mereka hilang tergantikan gedung-gedung tinggi. Anak-anak juga tidak pusing jika orang tua mereka tak mampu beli obat yang harganya semakin mahal.

Pertanyaan-pertanyaan itu langka disampaikan oleh anak-anak. Padahal faktanya, anak-anak adalah korban korupsi paling wahid di negeri ini. Koruptor telah menggadaikan masa depan bangsa, tempat anak-anak akan tumbuh dewasa. Kesejahteraan mereka digerus sedikit demi sedikit, tanpa disadari.

Memberantas korupsi memang jadi harga mati. Namun, yang terpenting lagi, jangan sampai ada regenerasi koruptor di negeri ini. Kita mesti berbuat sesuatu, jangan sampai anak-anak yang ada saat ini jadi penilap uang negara. 

Nilai-nilai integritas yang menjadi sifat dasar anak-anak jangan sampai berubah jadi keserakahan. KPK telah memperhitungkan hal ini, diwujudkan dalam Trisula Pemberantasan Korupsi dengan tiga ujung tajam: pendidikan, pencegahan dan penindakan. Ketiga sula ini sama pentingnya, seiring sejalan. 

Melalui penindakan, ada efek jera yang tercipta. Pencegahan untuk menutup celah-celah korupsi pada sistem. Sedangkan melalui pendidikan, KPK ingin menanamkan nilai-nilai integritas sejak dini. Harapannya, nilai-nilai ini tertancap kokoh hingga mereka dewasa nanti. Jangan sampai kemurnian hati mereka tergantikan dengan keserakahan karena insekuritas itu tadi.

Anak-anak mungkin tidak merasa insecure dan selalu bahagia dalam kesederhanaannya karena mereka mempercayakan hidup di tangan orang-orang dewasa, para orang tua. Jika ada lebih dari pemberian orang tua mereka bersyukur. Jika kurang, mereka berimprovisasi agar tetap happy. 

Sedangkan manusia dewasa merasa sudah tidak lagi memiliki tempat bernaung. Akhirnya, mereka hanya bergantung kepada kemampuan diri sendiri. Sikap ini problematik, karena kemampuan seseorang pasti ada batasnya, betapa pun hebatnya dia. Ketika batas itu tak tertembus, frustrasi muncul.

Padahal, seperti halnya anak-anak, orang-orang dewasa punya tempat bergantung yang tak akan berpaling dan mengecewakan, yaitu: Tuhan. Layaknya anak kecil yang bergantung kepada orang tuanya, orang dewasa sudah selayaknya bertumpu kepada Tuhan. 

Betapa pun kita berusaha, jika Tuhan tidak menakdirkan, maka tidak akan terjadi. Tuhan Maha Pengasih, sehingga takdirnya -yang terkadang kita anggap buruk- adalah pilihan terbaik untuk kita. Kesadaran ini mesti dimunculkan, agar hilang sifat insecure dalam diri.

Mencukupkan diri dengan yang diberikan Tuhan kepada kita juga dapat meredam keserakahan. Sifat qanaah ini akan membuat kita selalu merasa cukup dengan apa yang diberikan Tuhan, sehingga korupsi bisa tercegah.

Berdoalah kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh, seperti anak kecil yang merengek kepada orang tuanya. Bekerjalah dengan keras namun bahagia, bak anak kecil yang terhanyut seru dalam permainannya.

Jadikan tetes keringat kita sebagai bukti perjuangan mencari rezeki yang halal. Serupa anak kecil yang bermandikan keringat karena euforia bermain. Walau lelah, tapi puas dan bahagia. Jangan sampai keringat yang keluar dari dahi kita adalah keringat dingin karena takut ketahuan korupsi.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement