Kamis 28 Jul 2022 07:27 WIB

18 Ribu Kasus Cacar Monyet Ditemukan di 78 Negara

Dari keseluruhan kasus yang dikonfirmasi, lima pasien meninggal akibat cacar monyet.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Virus cacar monyet. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, lebih dari 18 ribu kasus monkeypox atau cacar monyet sudah ditemukan di 78 negara.
Foto: AP/VOA
Virus cacar monyet. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, lebih dari 18 ribu kasus monkeypox atau cacar monyet sudah ditemukan di 78 negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, lebih dari 18 ribu kasus monkeypox atau cacar monyet sudah ditemukan di 78 negara. Tingkat penyebaran atau infeksi tertinggi terjadi di Eropa, yakni melampaui 70 persen. Sementara di Amerika sebesar 25 persen.

Dari keseluruhan kasus yang dikonfirmasi, lima pasien telah meninggal akibat penyakit tersebut. Sedangkan sekitar 10 persen dari total kasus memerlukan rawat inap untuk mengatasi gejala dan rasa sakit yang ditimbulkan cacar monyet.

Baca Juga

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, saat ini 98 persen kasus cacar monyet di dunia dialami laki-laki pelaku homoseksual. Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa penyakit tersebut bisa menginfeksi siapa saja. “Itulah sebabnya WHO merekomendasikan agar negara-negara mengambil tindakan untuk mengurangi risiko penularan ke kelompok rentan lainnya, termasuk anak-anak, ibu hamil, dan mereka yang mengalami imunosupresi,” ucapnya, Rabu (27/7/2022).

Ghebreyesus menjelaskan, selain penularan melalui aktivitas seksual, cacar monyet juga dapat menyebar di rumah tangga melalui kontak dekat antar-manusia. Misalnya, berpelukan dan berciuman, serta handuk atau tempat tidur yang terkontaminasi.

“Ini adalah wabah yang dapat dihentikan jika negara, komunitas, dan individu menginformasikan diri mereka sendiri, merespons risiko dengan serius, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghentikan penularan dan melindungi kelompok rentan,” katanya.

Dia memperingatkan, stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang terinfeksi sama berbahayanya dengan virus apa pun. “Seperti yang telah kita lihat dengan Covid-19, informasi yang salah dan disinformasi dapat menyebar dengan cepat secara daring. Jadi kami meminta platform media sosial, perusahaan teknologi, serta organisasi berita untuk bekerja sama dengan kami untuk mencegah dan melawan informasi berbahaya,” katanya.

Menurut Ghebreyesus, saat ini WHO belum menyarankan vaksinasi massal cacar monyet. Dia mengungkapkan, WHO merekomendasikan vaksinasi hanya kepada kelompok rentan dan mereka yang menjalin kontak dengan individu terinfeksi. Satu vaksin cacar, MVA-BN, telah disetujui di Kanada, AS dan Uni Eropa untuk digunakan melawan cacar monyet.

WHO mengatakan, dua vaksin lain, yakni LC16 dan ACAM2000 juga sedang dipertimbangkan penggunaannya. Pada 23 Juli lalu WHO menetapkan wabah cacar monyet sebagai darurat kesehatan global. Saat diumumkan, WHO sudah mencatatkan penemuan lebih dari 16 ribu kasus penyakit tersebut di seluruh dunia. 

Saat ini muncul dugaan bahwa hubungan homoseksual menjadi pemicu utama penyebaran cacar monyet di Eropa dan Amerika. Sebelumnya penyakit tersebut diketahui hanya endemik di Afrika. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement