Sabtu 06 Aug 2022 12:10 WIB

Akhir Damai di Kasus Kekerasan dan Pelecehan Seksual

Sahnya UU TPKS seharusnya buat tidak ada lagi pelecehan seksual yang berakhir damai.

Red: Indira Rezkisari
Ilustrasi Pelecehan Seksual
Foto: Pixabay
Ilustrasi Pelecehan Seksual

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia darurat kasus kekerasan seksual. Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual perempuan dan anak melonjak hampir 100 persen sepanjang 2021. LPSK menilai hal ini membuktikan bahwa Indonesia memang dalam kondisi darurat kekerasan seksual.

Menurut data LPSK, permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual meningkat dalam kurun empat tahun terakhir. Pada 2018, terdapat 305 permohonan dan meningkat menjadi 359 pada 2019. Permohonan sempat turun pada 2020 dengan angka 245. Namun angka permohonan kembali melonjak tajam pada 2021 dengan angka 486 kasus permohonan.

Baca Juga

Miris? Tentunya. Tapi sebenarnya meningkatnya jumlah kasus menurut saya adalah bentuk makin pahamnya perempuan tentang kekerasan seksual. Sehingga mereka berani mengadu, meminta permohonan perlindungan dari lembaga berwenang seperti LPSK.

Masalah kekerasan seksual atau pelecehan seksual memang makin jadi sorotan sejak awareness tersebut muncul. Tapi meningkatnya kesadaran publik tak selalu diiringi dengan meningkatnya pula kesadaran lembaga berwenang untuk tidak bermain-main dengan perkara pelecehan seksual.

Dalam kasus pelecehan seksual di Stasiun Ciamis, sang korban yang diduga diintip dan direkam video saat sedang di dalam bilik toilet, sempat diminta berdamai oleh polisi yang dipanggil menangani kasus tersebut. Mungkin pikir polisi, pembuktiannya sulit. Apalagi terduga pelaku sudah menghapus video rekaman korban saat di dalam bilik toilet.

Lalu masih ingat tidak kasus mahasiswa UGM yang diduga menjadi korban kekerasan seksual saat menjalani program KKN. Kasus tersebut pada awal tahun 2019 akhirnya selesai secara damai, lewat penandatanganan perjanjian damai oleh korban, terduga pelaku yang sesama mahasiswa, dan pihak kampus.

Juga masih ada kasus dugaan penyekapan dan perkosaan siswa SMP di Riau yang diduga dilakukan oleh anak Anggota DPRD Pekanbaru. Kasus tersebut berakhir damai usai pencabutan laporan dilakukan di Polresta setempat.

Beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang damai bisa terjadi karena perspektif penanganan kasus-kasus tersebut masih terbatas salah satunya faktor tabu. Korban, meski tidak bersalah sama sekali, adalah pihak yang paling dirugikan. Karena itu, ini menurut saya ya, supaya tidak panjang kasusnya, sudahlah diakhiri dengan damai saja. Korban tidak terus menerus jadi bulan-bulanan. Tubuh wanita masih dipandang bukan hak wanita seutuhnya karena dia boleh dilihat, diintip, disentuh tanpa izin, bahkan diperkosa dan dibiarkan begitu saja pelakunya melenggang oleh publik. Karena damai dari dulu menjadi solusi kasus-kasus seperti ini.

Ya memang Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Aturan hukum ini menjadi terobosan bagi penegakan hukum terkait kekerasan dan pelecehan perempuan dan anak di berbagai ruang dan dalam berbagai modus.

Memang sudah ada beberapa tempat publik yang tegas menyatakan dukungannya bagi keselamatan perempuan dan anak. Misalnya Menteri Erick Thohir yang sudah mencanangkan BUMN sebagai tempat bekerja bebas kekerasan terhadap perempuan. Atau PT KAI yang berani memasukkan pelaku pelecehan seksual di layanan kereta ke daftar hitam penumpang.

Termasuk ketika terduga pelaku pelecehan seksual yang foto dan videonya viral berhasil ditangkap di salah satu halte Transjakarta. Publik, terutama kelompok Kaum Hawa, tentu merasa lega, merasa dihargai dan mengapresiasi tinggi penangkapan tersebut.

Tapi jalan untuk meretas keadilan bagi korban pelecehan dan kekerasan seksual masih tidak mudah meski payung hukumnya sudah ada. Bahkan bisa jadi jalannya terjal kalau terduga pelakunya punya jabatan dan posisi atau punya backingan kuat. Seperti contohnya kasus dugaan pelecehan seksual oleh Mas Bechi di salah satu ponpes milik keluarganya di Jombang.

Undang-undangnya memang sudah ada. Tapi ekosistem yang mendukung korban melakukan pelaporan dan tidak merasa tambah dilecehkan saat melapor, misalnya dengan disuruh berdamai atau justru disalahkan karena misalnya pakaiannya dianggap mengundang, masih harus terus dibangun. Caranya bagaimana? Salah satunya dengan edukasi.

Pahami apa sih pelecehan dan kekerasan seksual itu. Jika ternyata Anda berada dalam posisi tersebut sadari kalau Anda punya hak untuk tidak diperlakukan seperti itu. Di saat ini saya bisa bilang perempuan masih harus dengan tegas berani bicara lantang kalau dia menjadi korban. Mungkin itu menakutkan, ya. Tapi Anda harus bicara saat itu juga, terutama jika situasinya mengancam keselamatan diri.

Go get help. Carilah bantuan. Untungnya sekarang banyak lembaga atau individu yang bersedia menolong dalam urusan pelecehan atau kekerasan seksual.

Mari kita sama-sama menjaga ruang-ruang publik sebagai tempat yang melindungi perempuan dan bisa memberi rasa aman kepada kelompok yang rentan menjadi korban. Hal yang sama berlaku juga di rumah. Pelecehan dan kekerasan seksual muncul dalam berbagai bentuk, modus, dan ruang. Di dunia nyata dan dunia digital. Sadari itu. Semoga tidak ada lagi kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang berakhir damai.

*Penulis adalah jurnalis di Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement