Sabtu 06 Aug 2022 13:52 WIB

Kematian Ayman Al-Zawahiri, Arab Saudi, dan Islamofobia

Pemerintah Arab Saudi melabeli Ayman sebagai gembong teroris.

Red: Karta Raharja Ucu
Pemimpin Alqaidah yang baru, Ayman al-Zawahiri
Foto: MuslimDialy
Pemimpin Alqaidah yang baru, Ayman al-Zawahiri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Nuruzzaman, Komandan Densus 99 Banser NU

Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, secara resmi mengumumkan dari Gedung Putih tentang kematian Ayman al-Zawahiri dalam sebuah serangan dron di Kabul. Sebagaimana yang dilaporkan CNN, serangan itu terjadi Sabtu, 30 Juli 2022 pada pukul 21.40 waktu setempat. Ayman al-Zawahiri, pria kelahiran Mesir pengganti Osamah bin Laden, setelah sebelas tahun memimpin al-Qaeda, pada akhirnya harus mengikuti nasib pendahulunya.

 

Pengumuman ini kemudian disambut Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Melalui press release yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada Selasa, 2 Agustus 2022, Pemerintah Arab Saudi dengan tegas melabeli Ayman sebagai gembong teroris dan menyerukan dunia internasional untuk bekerja sama melenyapkan terorisme.

 

Sebagaimana dikutip dari Alarabia News, pernyataan resmi Pemerintah Arab Saudi seperti dinukil dari Alarabiya News, 2 Agustus 2022, “Kerajaan Arab Saudi menyambut pengumuman Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, terkait dengan serangan yang menewaskan pimpinan teroris al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri. [Ayman] adalah salah satu pimpinan terorisme yang merencanakan dan menjalankan operasi teroris kejam di Amerika Serikat, Arab Saudi, dan sejumlah negara lain di dunia. Ribuan orang tak bersalah dari berbagai negara dan agama, termasuk warga negara Arab Saudi, mati terbunuh. Pemerintahan Kerajaan Arab Saudi menekankan pentingnya memperkuat kerja sama dan upaya internasional bersama untuk memerangi dan menyingkirkan terorisme, menyeru pada semua negara untuk bekerja sama dalam kerangka kerja ini untuk melindungi orang-orang dari organissasi teroris.”

 

Kalimat di atas sangat tegas dan jelas tentang bagaimana posisi Pemerintah Arab Saudi dalam memandang sosok Ayman, seorang teroris beragama Islam. Di tengah hangatnya isu Islamofobia yang dikeluarkan oleh sekelompok orang di Indonesia, saya membayangkan andaikan statemen itu dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, pasti pemerintah akan diserang sebagai Islamofobik. Para pengerek isu Islamofobia akan meyakinkan kepada publik bahwa di Indonesia saat ini, termasuk rezim yang sedang berkuasa, sedang dijangkiti Islamofobia.

 

Tapi, betulkah Islamofobia tengah melanda Indonesia? Istilah Islamofobia merujuk pada sikap sentimen anti-Islam/Muslim. Islamofobia berakar dari sikap rasisme. Sehingga, Islamofobia adalah jenis rasisme yang menjadikan Islam dan/atau Muslim sebagai targetnya.

 

Jika merujuk pada definisi Islamofobia di atas, pertanyaanya adalah di manakah ada kebijakan atau peristiwa di Indonesia yang lahir dari sikap sentimen negatif terhadap Islam dan umat Islam atau sikap dan perilaku rasis yang menjadikan Islam sebagai targetnya? Jika tuduhan Islamofobia merujuk pada regulasi, justru sejak pascareformasi 1998, di berbagai daerah muncul regulasi-regulasi yang mendorong bandul keindonesiaan ke arah “pengistimewaan” umat Islam. Misalnya, peraturan pewajiban jilbab, baca tulis Alquran, jamaah shalat Jumat, dll.

 

Isu Islamofobia yang sedang didengungkan beberapa kelompok tertentu ini harus dibaca dalam konteks diskursus politik-keagamaan di Indonesia. Isu ini jika kita letakkan dalam dinamika Islam politik pascareformasi akan terlihat isu ini bertaut dengan isu-isu lain, seperti isu kebangkitan PKI, kriminalisasi ulama, dll.

Isu-isu ini dimainkan dalam rangka untuk mencitrakan kekuatan Islam politik sebagai korban dari kebijakan diskriminatif atas umat Islam. Karena itu, saatnya umat Islam merebut tampuk kepemimpinan di berbagai sektor, dan lebih memperlihatkan simbol-simbol keislaman. Begitulah kurang lebih narasi dan non-narasi yang sedang dibangun.

 

Memperbandingkan dengan kebijakan Pemerintah Arab Saudi terkait dengan kematian Ayman, kita bisa mengambil pelajaran bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan, tidak peduli apa pun agamanya. Seorang Muslim yang menjadi teroris tidak bisa mewakili keislaman kita. Betapa berbahayanya jika kita menyerahkan keislaman kita untuk direpresentasikan dan disuarakan oleh seorang teroris.

 

Begitu juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita tidak boleh membenarkan tindakan kriminal yang dilakukan seorang tokoh hanya karena dia seagama dengan kita. Kriminalitas tetaplah kriminalitas, tidak peduli dilakukan seorang tokoh agama. Jika ada tokoh agama yang melakukan tindakan kejahatan, maka penegakan hukum atasnya bukan karena agamanya, tapi karena kejahatannya.

 

Dengan meletakkan secara jernih hal ini, kita bisa melihat isu Islamofobia yang sedang didengungkan keras-keras saat ini. Jika konstitusi kita meletakkan semua orang setara di depan hukum, dan setiap warga negara memiliki hak-hak politik yang sama, maka itu sama sekali bukan karena sentimen negatif terhadap salah satu kelompok agama, tapi memang begitulah seharusnya kehidupan bernegara di tengah kemajemukan sebuah bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement