Ahad 07 Aug 2022 13:49 WIB

Rindu Masjid Ramah Anak

Masjid harus bisa memberi memori indah bagi anak-anak.

Red: Joko Sadewo
Masjid harus ramah untuk anak. (foto ilustrasi)
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Masjid harus ramah untuk anak. (foto ilustrasi)

Oleh : Agung Sasongko, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Keberadaan masjid di masa lalu,  menjadi pusat peradaban Islam. Mengapa fungsi ini seakan berkurang di masa sekarang? Seolah fungsi masjid terbatas hanya untuk pelaksanaan ibadah. Itu pun hanya kalangan tua yang mendominasi. Kemana anak-anak muda?

J Pedersen dalam bukunya 'Arabic Book' mengungkapkan, di era kejayaan Islam, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat kegiatan intelektualitas. Di masjid, umat Islam terbiasa belajar banyak hal. Mulai dari ilmu agama hingga sains.

Banyak sejarawan Barat mengakui betapa pentingnya masjid sebagai fondasi peradaban Islam. Hal tersebut didukung pula dengan kehadiran universitas terkemuka dunia Islam berasal dari masjid. Universitas Al-Qayrawwan dan Al-Zaituna di Tunisia, Al-Azhar di Mesir, Al-Qarawiyyin di kota Fez Maroko, dan Sankore di Timbuktu.’

Bisa dibayangkan, betapa nikmatnya umat Islam saat itu melahap khazanah keilmuan saat berada di dalam masjid. Perpustakaan masjid penuh dengan koleksi buku yang tak berdebu. Perpustakaan masjid bukan sekadar menyimpan buku namun merupakan ruang intelektualitas para jamaahnya.

Hal seperti inilah yang terasa hilang pada saat sekarang. Fungsi masjid  terbatas kegiatan ibadah. Itupun hanya ramai saat sholat Jumat saja. Jamaahnya pun hanya dari kalangan tua dan sepuh, yang menggenjot ibadah sebelum datangnya maut. Begitu jarang anak-anak muda baik usia sekolah maupun kerja berlalu lalang dalam masjid.

Padahal saat mereka kecil, rentang usia 6-10 tahun, mereka selalu hadir di tengah-tengah sepinya shaf di masjid maupun mushola. Dengan penuh keceriaan mereka datang ketika kumandang adzan tiba. Meski kerap menjadi biang kerok dalam masjid ketika sholat, harus diakui merekalah jamaah sesungguhnya masjid atau mushala ini.

Usai sholat, kembali canda tawa menggelegar hingga berhenti ketika ustaz pengajar mengaji tiba. Suasana hening itu hanya bertahan sekian menit, karena ustaz mulai berkonsentrasi memeriksa bacaan setiap anak.

Pada usia sekolah dasar, boleh dikatakan, keinginan anak untuk ke masjid demikian tinggi. Dengan banyaknya teman sebaya yang datang, jelas kehadiran di mushola atau masjid merupakan hal yang membahagiakan buat mereka.  Jadi masa-masa inilah seharusnya anak diingatkan betapa indahnya pengalaman masa kecil mereka di masjid.

Memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi, jadwal sekolah mulai demikian padat. Praktis waktu mereka di rumah lebih sedikit ketimbang di sekolah. Waktu untuk pergi ke masjid atau mushola pun menyempit.

Ditambah lagi masih sedikitnya teman sebaya yang datang ke masjid. Pada usia sekolah menengah misalnya, lingkungan anak mulai dominan lebih merapat pada teman-teman sekolahnya. Mulailah kita mengenal teman masa kecil. Kondisi ini berlangsung hingga jejang berikutnya yakni kuliah.

Ini menunjukan sangat sedikit waktu yang dimiliki masjid untuk memberikan pengalaman berharga bagi anak-anak kita. Dengan aturan yang demikian ketat berikut dengan turunan larangannya seperti dilarang bercanda, dilarang bermain di masjid dan lainnya, tentu mendorong motivasi anak untuk malas ke masjid.

Bagi saya, ini kontraproduktif dengan upaya mengembalikan  fungsi masjid sebagai pencetak manusia-manusia unggul dari segi iman dan sosialnya. Para sahabat dulu, yang dikenal dengan Shuffah, belajar di pinggiran Masjid Nabawi. Dari mereka kemudian, Islam menyebar ke seluruh dunia hingga saat ini.

Estafet masjid sebagai tulang punggung peradaban dilanjurkan era kekalifahan. Pada masa itu, masjid menjadi sentral ilmu pengetahuan dengan kehadiran ruang pendidikan dan perpustakaan hingga akhirnya berkembang menjadi universitas.

Karenanya, deklarasi masjid ramah anak, penting untuk digaungkan dengan harapan dapat lebih lama lagi anak berada di dalam masjid. Apalagi saat ini masjid harus bersaing dengan ponsel dan warung internet. Tentu ini bukanlah hal mudah.

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni menilai masjid ramah anak memiliki pengertian yang luas. Misalnya, menjamin keamanan bagi anak-anak yang main di masjid, menciptakan suasana menyenangkan, dan kehadiran program yang edukatif untuk mereka. Termasuk juga membuat instalasi listrik yang aman sehingga tidak membahayakan siapapun termasuk anak-anak.

Sangat menarik apabila masjid memiliki playground atau lapangan futsal tempat anak bermain. Pengurus masjid bisa mengadakan program kreatif yang memancing anak untuk datang seperti storytelling dan lainnya. Jadi, secara tidak langsung wajah masjid yang terkesan hanya untuk orang tua, hanya untuk ibadah, hanya untuk hal yang serius dengan sendirinya mencair.

Keberadaan masjid ramah anak sudah mendesak untuk diterapkan. Anak-anak kini menghadapi zaman yang tak mudah. Perundungan mulai merajalela, fenomena LGBT yang mulai terang-terangan. Belum lagi narkoba. Untuk itu, saya kira, pemerintah maupun ormas bisa memberikan perhatian dan dorongan kuat agar anak bersemangat merapat ke masjid. Caranya dengan mengubah wajah masjid yang kaku menjadi institusi yang bisa mengapresiasi dan memfasilitasi anak berkreasi dan tak lupa mengasah ketakwaannya. 

Dari mereka, nanti peradaban Islam kembali bangkit. Kebangkitan yang dimulai dari memori indah ketika mereka berada di masjid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement