Selasa 09 Aug 2022 19:04 WIB

Manulife: Konflik Geopolitik Masih Perlu Diantisipasi Pelaku Pasar

Konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada harga pangan bisa berimbas ke daya beli.

Red: Friska Yolandha
Petani dari pertanian Voznesenka-Agro memanen bersama mereka di truk di ladang gandum tidak jauh dari Melitopol, Ukraina selatan, Kamis, 14 Juli 2022. Senior Portfolio Manager MAMI Samuel Kesuma mengatakan konflik geopolitik, antara lain perang antara Ukraina dan Rusia, masih perlu diantisipasi pelaku pasar saham.
Foto: AP Photo
Petani dari pertanian Voznesenka-Agro memanen bersama mereka di truk di ladang gandum tidak jauh dari Melitopol, Ukraina selatan, Kamis, 14 Juli 2022. Senior Portfolio Manager MAMI Samuel Kesuma mengatakan konflik geopolitik, antara lain perang antara Ukraina dan Rusia, masih perlu diantisipasi pelaku pasar saham.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senior Portfolio Manager MAMI Samuel Kesuma mengatakan konflik geopolitik, antara lain perang antara Ukraina dan Rusia, masih perlu diantisipasi pelaku pasar saham. Karena, ini berisiko menyebabkan volatilitas pasar di semester II 2022.

Konflik antara Rusia dan Ukraina sebagai penghasil gandum terbesar di dunia dapat meningkatkan harga pangan dan energi sehingga inflasi juga berpotensi meningkat terutama di negara-negara berkembang. "Ini juga akan berdampak ke daya beli konsumen terutama masyarakat menengah ke bawah, yang pendapatannya paling banyak untuk makanan dan energi," katanya, Selasa (9/8/2022).

Di samping itu pengetatan kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Fed melalui peningkatan suku bunga acuan yang terlalu agresif juga perlu diantisipasi karena dapat menekan pertumbuhan ekonomi global. "Karena saham ini instrumen yang berkinerja baik saat pertumbuhan ekonomi bagus, pemotongan ekspektasi pertumbuhan ekonomi dapat berdampak terhadap ekspektasi return saham dan laba emiten. Jadi stand bank sentral terutama The Fed perlu terus dimonitor," katanya.

Inflasi juga masih perlu terus diantisipasi di tengah konflik geopolitik yang berlanjut karena dapat menimbulkan ketidakpastian yang tidak disukai pelaku pasar saham. Di Indonesia tingkat inflasi bisa lebih tinggi apabila pemerintah memotong subsidi energi yang dapat mempengaruhi konsumsi masyarakat dan laba emiten, tapi secara global harga pangan dan energi mulai mengalami penurunan.

"Jadi kalau harga komoditas ke depan lebih stabil, risiko dari konflik geopolitik, pengetatan kebijakan bank sentral AS, dan terutama inflasi ini saya rasa tidak lagi menjadi pertimbangan di pasar," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement