Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Pendidikan Anti-Terorisme Dari Mana Memulainya?

Agama | Wednesday, 10 Aug 2022, 12:19 WIB
sumber gambar: freepik.com

Sering saya ditanya, baik oleh murid di sekolah atau jemaah pengajian di kampung, dari mana pendidikan anti-terorisme harus dimulai? Maka, terus terang jawaban saya mungkin sekali sempit. Semua itu tidak lain karena backround keilmuan yang sangat terbatas.

Pertama-tama saya harus menyadari bahwa kata “teror” atau “terorisme” tidak bisa dimaknai hanya merujuk pada satu pemeluk agama tertentu, misalnya terorisme hanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam. Kedua, terorisme tidak bisa dimaknai hanya merujuk pada satu negara atau bagian negera tertentu, misalnya terorisme pasti dari Timur Tengah. Ketiga, terorisme tidak selalu terkait peristiwa ledakan bom atau peristiwa yang memakan korban jiwa (al-Qurtuby & Aldamer, 2021).

Artinya, dalam belantara makna kata yang sangat sensitif itu, yakni terorisme, perlu kehati-hatian ekstra ketika menempatkannya dalam sebuah konteks pembahasan. Konteks pembahasan dalam tulisan ini pun akan dan harus dijelaskan terlebih dahulu duduk soal dan posisi sudut pandang saya dalam menulis.

Terorisme sebagai Sebab dan Akibat

Menurut saya, dalam membahas tema terorisme, penting ditekankan sejelas-jelasnya sudut pandang pengkaji dalam menempatkan tema terorisme tersebut, apakah sebagai akibat atau sebagai sebab. Terorisme sebagai sebab dapat terbaca dalam berbagai buku dan kebijakan pemerintah yang lahir terkait peristiwa serangan 9/11 di USA atau Bom Bali di Indonesia. Respon yang diberikan pada terorisme sebagai sebab cenderung keras, baik dalam kebijakan atau buku-buku yang hadir. Hal itu dapat dimengerti karena terorisme sebagai sebab terbukti mengakibatkan berbagai kerusakan dan kerugian yang besra. Lihat misalnya sejarah Densus 88 yang lahir pasca Bom Bali atau buku When Religion Became Evil (Kala Agama Jadi Bencana) karya Charles Kimball yang lahir pasca 9/11. Dalam buku itu Kimball melihat berbagai sisi “buruk” agama dan melayangkan kritiknya yang keras.

Adapun car pandang terorisme sebagai akibat, menunjukkan adanya sebab-sebab yang melandasi dan mengakibatkan sebuah tindakan teror tertentu. Sebab yang melandasi tindakan teror itu ada yang melihatnya dalam sisi ekonomi dan marjinalitas (Hiariej, 2017), kondisi sosial-politik (Nasir, 2013; Hasan, 2006), serta paham keagamaan (Maarif, 2018). Melihat terorisme sebagai akibat, selalu mengasumsikan bahwa tindakan teror tidak akan terjadi tanpa sebab-sebab tertentu sebelumnya. Dalam pandangan ini, penanganan terorisme dilakukan lebih halus dalam bentuk difusi gagasan untuk membentuk wacana tertentu. Oleh karena, yang disasar bukan tindakan terorisme yang telah terjadi, namun menyasar hal-hal yang diasumsikan kuat mengarah pada tindakan terorisme.

Pertanyaanya, di manakah tulisan saya ini berada? Jawabannya adalah pada jenis yang kedua, yakni memandang terorisme sebagai akibat. Jika ditanya lagi, sebagai akibat dari apa? Maka backround keilmuan saya akan bicara secara sangat spesifik, yakni akibat dari penafsiran ajaran Islam. Apakah mungkin dan ada satu bukti bahwa penafsiran tertentu terhadap ajaran Islam mendukung tindak teror? Jawaban paling mudah dirujuk adalah buku Aku Melawan Teroris karya Imam Samudra. Dalam buku itu, setidaknya terdapat berbagai ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang dimaknai dan dilegitimasi sebagai dasar-dasar berbagai strategi dan tindakan Bom Bali.

Tetapi, dalam buku Aku Melawan Teroris, tidak hanya tersaji penafsiran tertentu atas ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi. Terbaca juga bahwa alasan kuat tindakan Bom Bali, disebutkan Imam Samudra “Adalah satu di antara perlawanan yang ditujukan terhadap penjajah Amerika dan sekutunya” (h.115). Terdapat motif yang begitu kompleks dari sekadar penafsiran tertentu atas al-Qur’an dan Hadis Nabi. Nah, di sanalah problem besar pembahasan terorisme yang selalu mengundang pro-kontra. Sesuatu yang sangat kompleks, namun direspon oleh berbagai kalangan hanya dari kacamatanya yang spesifik, termasuk dalam konteks tulisan ini, hanya direspon dalam perspektif penafsiran ajaran Islam.

Jalan keluarnya, pendidikan anti-terorisme harus dimulai dari kesadaran duduk masalah yang kompleks, meski hanya mampu direspon dalam satu sisi kecil saja. Idealnya jelas, kajian terorisme membutuhkan sudut pandang multidisiplin keilmuan yang kompleks pula. Namun, jika hal itu sulit, maka setidaknya merespon dalam satu bidang tertentu yang merupakan kemampuan kita sudahlah cukup. Dengan catatan tanpa menutup mata dan kesadaran bahwa terorisme merupakan suatu yang sangat kompleks.

Terorisme dalam Kacamata Penafsiran Ajaran Islam

Perhatikan logika dan konteks penggunaan ayat al-Qur’an yang disusun Imam Samudra dalam buku Aku Melawan Teroris:

“Lolongan bangsa Afhgan, jeritan bayi-bayi mereka, yang menyembul dari balik reruntuhan masjid... kian membuncah di dada tatkala kusaksikan VCD berjudul ‘Perang Salib Baru’. Kurasa, siapapun orangnya, sepanjang masih memiliki nurani dan secuil keimanan, akan merasakan kesedihan sempurna atas nasib negeri-negeri muslim ketika menyaksikan tayangan fakta dalam VCD tersebut...

Kesedihan, keprihatinan, ketidakberdayaan dari ruh kaum lemah yang teraniaya itu... kemudian menuju sanubari. Runutan dari semuanya itu lalu berubah menjadi panggilan-panggilan, lalu berubah lagi menjadi paggilan suci.

Mengapa kamu tidak mau berpegang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Wahai Rabb (Tuhan) kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!’ (an-Nisā: 75).

Lebih dari itu, panggilan suci itu akhirnya lebih wujud sebagai perintah suci dari Allah Yang Maha Suci.

Perangilah mereka (orang-orang kafir itu) kelak Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan tangan-tangan kamu... (at-Taubah: 14)

Ya! PERANGILAH MEREKA!!

Akhirnya panggilan suci menjadi perintah suci, dan menjadi kewajiban suci.

Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih!... (at-Taubah: 39).

Adakah siksa yang lebih pedih dari siksa Allah? Hanya manusia-manusia tolol, bodoh, idiot dan mati hati sajalah yang tidak takut dengan ancaman Allah Yang Maha Gagah!” (h.102-103)

Orang boleh berpendapat bahwa tuturan Imam Samudra itu hanyalah lelucon, atau kebodohan, atau hanya kedok atau setingan dan seabreg teori konspirasi lainnya. Tapi saya dan kita yang menggeluti kajian penafsiran al-Qur’an, akan selalu mengatakan bahwa itu adalah hal serius yang tentu saja menggelisahkan. Keyakinan beragama, khususnya dalam Islam, jika dianggap lelucon apalagi kedok (yang sangat sensitif karena bertentangan dengan konsep ikhlas) mirip seperti menabur bensin dalam kobaran api.

Apakah logika dan keyakinan seperti Imam Samudra berpotensi menyebar sampai hari ini? Tentu saja bisa dengan mudah menyebar. Jika ditanyakan lagi mengapa? Selain kemudahan akses berkat teknologi digital, yang lebih mendasar adalah kemudahan memahami dan meyakini susunan logika yang terlihat begitu jelas dan tegas seperti itu. Berbeda dengan konter-narasi yang dilakukan pihak pemerintah dan para ilmuan misalnya. Intrik politik tak berkesudahan yang terus dipertontonkan pemeritah selalu menimbulkan buah kecurigaan, apalagi terkait isu terorisme. Adapun para ilmuan, konter-narasi yang dilakukan sifatnya sangat teoritis-elitis, sehingga sulit dipahami masyarakat luas.

Sebagai contoh bagaimana seorang ilmuan melakukan konter-narasi atas penafsiran Imam Samudra, dapat terlihat dari tulisan Prof. Sahiron Syamsuddin yang berjudul A Peaceful Message beyond the Permission of Warfare [Jihad] (Pesan Damai Di Balik Serusn Jihad). Sebagai ketua Asosiasi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) di Indonesia, Prof. Sahiron mengkaji QS. Al-Hajj [22]: 39-40 yang disebutnya sebagai ayat pertama yang memberi izin perang kepada kaum Muslim, dengan memberi banyak bukti referensi meyakinkan. Sebagai catatan, bagi Imam Samudra ayat pertama yang memberikan perintah memerangi orang yang lebih dulu meyerang adalah QS. Al-Baqarah [2]: 190 (h.115), tapi tanpa satu pun bukti referensi.

Prof. Sahiron mendasarkan analisis teoritiknya demi menemukan ‘makna sejati’ QS. Al-Hajj [22]: 39-40 dengan pendekatan yang disebut ma’nā-cum-maghzā. Singkatnya pendekatan ma’nā-cum-maghzā adalah gabungan tradisi hermeneutika Barat dan kaidah ilmu tafsir dalam tradisi Islam.

Hasilnya, ayat yang berbunyi:

Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.

Menurut Prof. Sahiron, melalui kata diizinkan, ayat ini menjelaskan ‘struktur-kebolehan’ berperang. Tidak seperti QS. Al-Baqarah [2]: 190, melalui kata berperanglah! yang merupakan ‘struktur-intruksi’. Artinya, jika struktur-kebolehan yang pertama turun untuk ‘melawan’ orang kafir Quraisy, menunjukkan bahwa perang bukanlah pesan utama ayat. ‘Kebolehan’ berperang (bukannya ‘perintah’ berperang) menunjukkan kemungkinan adanya cara lain untuk menuju pesan utama ayat berupa terciptanya perdamaian.

Pemaknaan itulah yang menjelaskan mengapa ketika peristiwa fat Makkah (penaklukan kota Makkah) tidak diwarnai peristiwa berdarah. Sebabnya karena Nabi sangat paham bahwa ayat perang sejatinya bukan bertujuan untuk perang, melainkan menciptakan perdamaian. Jadi, saat penaklukan kota Makkah, kondisi kafir Quraisy telah menyerah. Itu berarti perdamaian bisa dicapai tanpa adanya perang. Berbeda dengan narasi Imam Samudra yang mengindikasikan adanya ‘pembalasan’ atas kekejaman yang disebutnya telah dilakukan Amerika dan sekutunya. Jika pembalasan itu boleh, maka jelas Nabi adalah pihak yang sangat menderita oleh kezaliman kafir Quraisy. Namun perdamaian sudah tercipta, maka perang tidak lagi dibutuhkan apalagi dicari-carikan legitimasinya dalam al-Qur’an.

Kebolehan perang juga sangat terkait dengan kondisi kaum Muslim saat itu yang dizalimi dan diusir dari kampung halamannya sendiri. Mengapa kaum Muslim diusir? Tidak ada alasan lain kecuali kaum Muslim itu beriman kepada Allah. Di sini Prof. Sahiron setuju dengan jihad dalam bentuk perang, hanya jika dalam keadaan defensive (bertahan) seperti kasus perang Badar.

Kesimpulannya, apa yang mesti diamalkan dalam ayat itu bukanlah perintah perangnya, melainkan tegaknya perdamaian dan penghapusan kezaliman. Jika diserang maka Rasul berperang demi mempertahankan diri, karena mendapat izin dari Allah. Sedangkan jika pesan utama berupa perdamaian sudah dicapai, maka perang tidak diperlukan lagi seperti peristiwa penaklukan kota Makkah. Padahal musuh yang dihadapi adalah pihak yang sama, yakni kafir Quraisy!

Masalah Terselubung dan Solusinya

Menurut saya, meskipun kaum ilmuan seperti Prof. Sahiron telah banyak melakukan terobosan teoritik yang membantu memberikan cara memahami al-Qur’an lebih baik, tetap saja jangkauannya masih sangat terbatas. Apalagi di masa sekarang, informasi di internet punya tata bahasa dan cara kerjanya sendiri. Jika upaya konter-wacana hanya terbatas di jurnal ilmiah atau seminar akademik yang prestisius, maka seperti panggang jauh dari api.

Termasuk, program-program BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga mulai bergerak lebih halus di kalangan kaum muda untuk melakukan pendidikan anti-terorisme secara sistematis. Inisiasi BNPT yang melahirkan generasi muda yang sadar anti-terorisme kemudian diekspresikan dalam bentuk karya, baik tulisan, video atau lagu adalah suatu prestasi tertentu. Sulitnya, sekali lagi program pemerintah selalu diselubungi kecurigaan jika dilakukan terlalu blak-blakan dan terang-terangan.

Jalan keluarnya kajian anti-terorisme atau konter-wacana terorisme harus ‘turun gunung’ dan menyapa lebih banyak warga (atau warganet) secara terus-menerus. Sebagai contoh saya sangat suka untuk menyebut nama Ahmad Syafii Maarif. Kiprahnya dalam upaya konter-wacana terorisme dan mengawal pendidikan anti-terorisme terjadi secara masif baik melalui Maarif Institute (badan yang berdiri atas inspirasi darinya) atau tulisan berkala di kolom Resonansi Republika dan Suara Muhammadiyah yang semuanya telah digital. Belum lagi anak ideologisnya yang terus bermekaran, turut mewarnai wacana nasional. Pertanyaanya, ketika tahun ini beliau wafat, siapakah yang akan meneruskan perjuangannya tersebut?

Referensi

Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2018

Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan, 2013

Haidar Nasir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia, Bandung: Mizan, 2013

Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Solo: al-Jazera, 2004

Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008

Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017

Sumanto al-Qurtuby & Shafi Aldamer “Terrorism and Counterterrorism in Saudi Arabia”. Contemporary Review of the Middle East, 8 (1), 2021

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image