Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Windi Astuti

Menguatkan Peran Orangtua dan Guru Mengawal Proses Pendidikan Anak

Guru Menulis | Tuesday, 16 Aug 2022, 00:05 WIB

Awal masuk tahun ajaran baru, sampai kini di pertengahan Agustus ada saja masalah remaja yang kami temui di sekolah. Kasus pacaran, merokok, tawur, membolos saat pelajaran berlangsung serta terlambat datang ke sekolah. Beberapa kasus itulah yang kami tangani. Belum termasuk kasus kecil-kecil lainnya.

Saya rasa, wajar bila bermacam kasus tersebut ditemui di sekolah menengah pertama pada umumnya. Merespon hal tersebut, dibutuhkan kerjasama yang ketat antara bapak ibu guru di sekolah, kerjasama orangtua dan sekolah serta pihak lain untuk mengawal setiap perkembangan anak remajanya di era digital ini.

Penggunaan handphone di sekolah, tetap harus ada pengawasan ketat selama penggunaan

Belajar dari kekurangan lalu-lalu, penggunaan gadget oleh siswa di sekolah sangat menantang untuk perkembangan belajarnya. Pasalnya, kehadiran gadget yang tanpa peraturan ketat untuk mengatur aktivitas di dalamnya sering disalahgunakan oleh siswa. Seperti merencanakan aksi bolos sekolah, menyontek saat mengerjakan tugas di sekolah, berkomunikasi dengan teman beda kelas bahkan sering mengganggu konsentrasi siswa saat menerima pelajaran.

Bukan gadget yang salah, biangnya adalah penggunanya. Kurang bijak dalam menggunakan handphone. Oleh sebab itu, peraturan ketat yang mengatur segala aktivitas penggunaan handphone wajib diberlakukan demi tercapainya proses belajar mengajar yang khusyu.

Gerak langkah semua pihak guru yang terlibat sebagai penyambung informasi dari sekolah ke siswa harus seirama

Wali kelas adalah peran vokal dalam sekolah yang menjadi penyambung informasi apapun dari dan ke sekolah untuk siswa. Memahami peran akan pentingnya kelancaran berkomunikasi selama mengawal satu tahun ajaran, gerak para guru yang ditunjuk menjabat peran tersebut harus aktif. Siap menerima informasi apapun, siap menjadi peran orangtua di sekolah yang menjembatani bilamana siswa asuhnya mengalami kesulitan belajar. Peran tersebut bisa difungsikan lebih optimal lagi menjalin kerjasama dengan guru bimbingan dan konseling, guru agama, wakakurikulum dan semua pihak sekolah.

Mendidik anak di sekolah harus dilakukan secara bersama-sama. Guru di sekolah dalam tim yang diberikan kepercayaan sepenuhnya oleh dinas, orangtua dan komite bahwa putra-putrinya dititipkan di sekolah supaya hak belajarnya terpenuhi , mendapatkan pengalaman yang baik serta mencintai almamater sekolah dengan menjaga nama baiknya.

Maka dibutuhkan kerjasama yang utuh dari semua pihak baik itu sekolah dengan orangtua, sekolah dengan siswa, dan kerjasama yang pro aktif supaya ada keterbukaan untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi mengenai hal apapun yang berkaitan dengan perkembangan siswa.

Sekolah tidak bisa mengawal tingkah laku dan gerak langkah siswa -siswi disekolah secara sempurna. Terutama pada jam-jam istirahat untuk makan dan sholat. Meski masih dalam satu sekolahan yang pintu gerbangnya di jaga oleh Pak Satpam, siswa tidak kurang akal. Pergi mengelilingi kelas lain hanya untuk berjalan dan menghabiskan waktu untuk melihat-lihat. Atau jokian yang awalnya hanya buat bercanda dengan teman, bisa jadi berkelahi betulan dikarenakan siswa kurang bisa mengontrol emosinya.

Maka dari itu, pendidikan dalam rumah sangat penting diterapkan sejak dini dengan misi membekali putra-putrinya agar siap menghadapi tantangan baru di 4 yang remaja. Bukan hal baru sebenernya, kadang orangtua menganggap buah hatinya yang memasuki usia remaja dianggap mampu dan lebih dewasa menghadapi proses perkembangannya. Tak luput dari itu, bisa dikroscek lagi apakah kita selaku orangtua sudah penuh memberikan perhatian kepada anak ? Sudahkah memenuhi hak-haknya untuk mendapatkan tempat terbaik manakala mereka (anak remaja) dihadapkan pada sebuah pilihan atau pengambilan keputusan dalam bertindak?

Berkaitan akan hal itu, siswa tidak lagi mencari perhatian di luar sehingga mereka punya kedewasaan yang lebih matang dalam bersikap. Menggunakan nalarnya, terutama dalam hal selektif memilih teman bergaul. Kasus pacaran, merokok, tawur, membolos bisa diminimalisir agar kasus yang muncul tidak tergolong kasus berat.

Rerata, siswa yang bermasalah adalah mereka yang kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya. Bukan hanya sebatas kurangnya membangun komunikasi antar keduanya tapi lebih dari itu, anak bukan korban dari pertengkaran/perceraian orangtua.

Melalui tulisan ini semoga, siapapun yang terlibat dalam proses pendidikan sama-sama evaluasi untuk menajamkan peran sebagaimana mestinya. Dibutuhkan kerjasama kuat antara beberapa pihak demi mencapai proses pendidikan yang utuh. Siswa mampu mencapai tugas perkembangan dan tugas belajarnya dengan baik. Setidaknya siswa memiliki kemandirian belajar, rasa tanggung jawab serta kesadaran tinggi untuk menuntaskan kewajiban belajar sembilan tahun. Anak adalah aset generasi peradaban untuk mengisi kemerdekaan. Merdeka, merdeka, merdeka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image