Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syamsul Rizal Ikhwan

Mengenang Pak Mutahar, Komposer 'Hari Merdeka'

Edukasi | Wednesday, 17 Aug 2022, 10:50 WIB
Habib Husein Mutahar

Riuh rendah gegap gempita peringatan hari ulang tahun ke-77 proklamasi kemerdekaan kita, 17 Agustus 2022. Nonton bareng layar lebar, layar tancap, dan sebagainya, yang memutar film-film perjuangan, digelar di banyak tempat. Bazar dan pasar malam ikut serta memeriahkan dan menghidupkan geliat ekonomi. Lomba-lomba dan acara pementasan kesenian dengan berbagai bentuknya digelar, menampung kreatifitas dan unjuk kemampuan anak-anak bangsa. Terdengar di mana-mana lagu-lagu nasional, lagu-lagu bertema kebangsaan, perjuangan, cinta tanah air, dan lagu-lagu daerah. Di berbagai medsos, televisi, radio, dan sebagainya ; bahkan tak hanya di hotel, restoran, mall, super market dan mini market, melewati pasar tradisional pun kita mendengar lagu-lagu itu disuarakan. Yang tak ketinggalan tentu lagu “Hari Merdeka”. Semarak betul !

Satu lagi wahana tempat berkumandang lagu-lagu patriotik itu adalah upacara di sekolah, kampus, kantor atau instansi, bahkan juga rumah sakit, RT/RW, Kelurahan, dan seterusnya. Di tingkat elit, bahkan istana negara kita sejak beberapa tahun terakhir ini rutin mengisi upacara tersebut dengan penampilan gabungan anak-anak dan remaja dari berbagai daerah, menyanyikan lagu-lagu nasional dan daerah dengan iringan orkestra yang apik dan megah. Penampilan dibuka atau ditutup dengan lagu “Hari Merdeka”.

Adakah sebagian dari anak-anak kita, atau mungkin kita sendiri para orangtua, yang belum kenal lagu itu ? Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita, hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia. Merdeka ! S’kali merdeka tetap merdeka, selama hayat masih dikandung badan. Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia. Kita tetap setia, tetap sedia, membela Negara kita. Mudah-mudahan kita sepakat bahwa kemungkinannya kecil ada orang Indonesia yang tak tahu lagu itu, dari anak TK hingga nenek-kakek.

Sebagai warga negara Indonesia yang baik, selayaknya kita mengenal pula Pak Mutahar, pencipta lagu itu. Terlebih lagi karena tak hanya lagu “Hari Merdeka”, “Syukur”, dan “Himne Pramuka” saja yang telah beliau sumbangkan untuk Indonesia kita ini, tapi ada banyak lagu nasional dan anak-anak, bahkan juga kontribusi di bidang-bidang lain, semisal peran serta beliau dalam pertempuran lima hari di Semarang saat revolusi fisik, menyelamatkan bendera pusaka, bertugas sebagai ajudan Bung Karno, salah seorang pendiri Pramuka dan Paskibraka, hingga pekerjaan beliau sebagai pegawai tinggi dan diplomat. Berdinas di TNI Angkatan Laut, beliau berpangkat Mayor. Beliau adalah salah seorang peraih Bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra Pratama.

Mengenal Pak Mutahar

Dr (Hc) Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar lahir di Semarang, Jawa Tengah, 5 Agustus 1916. Panggilan lain beliau adalah Habib Muhammad Husein Muthahar. Namun dalam khasanah musik Indonesia beliau lebih dikenal sebagai H. Mutahar atau Hs. Mutahar.

Lagu ciptaannya yang terkenal antara lain : “Syukur” (diperkenalkan Januari 1945), “Hari Merdeka” (1946), dan "Himne Pramuka". Karya terakhirnya “Dirgahayu Indonesiaku” menjadi lagu resmi peringatan hari ulang tahun ke-50 kemerdekaan Indonesia. Lagu anak-anak ciptaannya, antara lain : "Gembira", "Tepuk Tangan Silang-silang", "Mari Tepuk", "Selamatlah", "Jangan Putus Asa", dan "Saat Berpisah".

Pak Mutahar mengecap pendidikan selama setahun di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada periode 1946-1947, setelah tamat dari MULO-B (1934) dan AMS A-I (1938). Pada tahun 1945, ia bekerja sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Jogjakarta, kemudian menjadi Pegawai Tinggi Sekretariat Negara di Jogjakarta (1947). Selanjutnya ia menempati jabatan-jabatan yang berpindah-pindah antar departemen. Puncak kariernya barangkali adalah sebagai Duta Besar RI di Vatican (1969-1973). Ia diketahui menguasai beberapa bahasa secara aktif, antara lain Arab, Inggris, Belanda, Jerman, Spanyol, Perancis, dan Itali. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Penjabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (1974).

Pak Mutahar aktif dalam kegiatan kepanduan. Ia adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal anti-komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, ia juga menjadi tokoh di dalamnya. Namanya juga terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebagai salah seorang ajudan Presiden, Pak Mutahar diberi tugas menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan, 17 Agustus 1946. Menurut pemikirannya, pengibaran bendera sebaiknya dilakukan para pemuda yang mewakili daerah-daerah Indonesia. Ia lalu memilih lima pemuda yang berdomisili di Yogyakarta (tiga laki-laki dan dua perempuan) sebagai wakil daerah mereka.

Pada tahun 1967, sebagai direktur jenderal urusan pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Mutahar diminta oleh Presiden Soeharto untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Tata cara pengibaran Bendera Pusaka disusunnya untuk dikibarkan oleh satu pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu, kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera, kelompok 45 sebagai pengawal. Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. (Wikipedia)

Ceramah di Kampus Jurusan Musik, ISI Yogyakarta

Dalam suatu kesempatan konser di Jakarta tahun 1992, saya melihat pak Mutahar hadir menonton di kursi terdepan. (Saat itu saya kebetulan aktif di organisasi mahasiswa muslim kampus Jurusan Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Selepas konser, saya mengundang beliau untuk menjadi pembicara dalam acara peringatan nuzulul Quran di kampus kami saat Ramadhan beberapa bulan lagi. Spontan beliau menyatakan kesediaan dan rasa terima kasihnya atas diberi kehormatan untuk berbicara di depan mahasiswa Jurusan Musik. (Saya tahu bahwa beliau juga fasih berbicara soal agama karena kebetulan saat masih SMP dulu pernah melihat beliau tampil di TVRI dalam sebuah acara semacam dialog. Kesimpulan saya dari tampilan itu, Pak Mutahar bukan hanya hebat sebagai seniman, pandu, dan diplomat, tetapi juga sangat piawai menyampaikan pencerahan yang bersifat religius. Bicaranya yang dari hati dan pembahasannya yang rinci menunjukkan penguasaan ilmu agamanya begitu luas.)

Dari Yogyakarta, dalam beberapa surat dan pembicaraan via telepon, kami bertanya tentang tarif ceramah dan biaya transportasi, jawaban beliau dalam beberapa kali komunikasi itu tetap sama : “Sudah.. Tak usah dipikirkan. Memang kalian punya uang ?” demikian canda akrab beliau. “Saya akan berangkat sendiri, cari hotel sendiri, dan pulang sendiri. Kalian cukup jemput saya di hotel,” kata beliau.

Singkat cerita, tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Pak Mutahar berkesempatan shalat isya dan tarawih bersama kami para mahasiswa Jurusan Musik, para dosen dan petinggi kampus, bahkan termasuk rektor ketika itu, Pak Profesor But Muchtar. Lepas tarawih bersama, Pak Mutahar tampil ke atas podium. Meski telah berusia 76 tahun dan fisik nampak mulai lemah, namun semangat beliau tetap tampak terpancar dari guratan mimik wajahnya yang tenang berkharisma. Dengan fasih beliau menyampaikan pesan-pesan agama dengan menitikberatkan kajiannya pada hal-hal yang berhubungan dengan musik.

Ketika menjelaskan tentang tadarus (dalam pengertian membaca Quran secara murattal), beliau mengatakan bahwa salah satu kekuatan tadarus itu adalah ketika kita melafazkan ayat-ayat yang kita baca. “Bayangkan apakah ada jiwanya bila seseorang bertadarus hanya dengan memandang dan membaca tanpa menyuarakan huruf-huruf itu. Bertadarus jika hanya di dalam hati tidaklah akan menimbulkan efek yang signifikan, baik untuk orang lain yang mendengarnya, maupun bagi kita sendiri yang membacanya. Jadi ruh tadarus itu terletak pada bunyinya ; bunyi yang mengalun sedemikian, hingga terbangun ‘musik’ yang berjiwa. Sudah barang tentu kita sepakat bahwa kelanjutannya adalah mengkaji arti dan maknanya secara lebih mendalam,” ujar Pak Mutahar.

Pak Mutahar juga mengupas tentang efek bunyi dalam kaitannya dengan psikis manusia. Bunyi yang terlalu keras akan berakibat pada menurunnya produktifitas dan daya konsentrasi manusia, meskipun produk bunyi tersebut berupa sesuatu yang indah dan bermanfaat. Produk itu mungkin bunyi musik yang timbul dari alat musik, mungkin pula dari orang yang berbisik, orang yang berdiskusi, orang yang berteriak, keriuhan di pasar, pengeras suara dari mikrofon, knalpot sepeda motor, ledakan bom, dan sebagainya. Beliau memberikan contoh dari berbagai macam sumber bunyi tersebut lengkap dengan ukuran decibel-nya.

Tentang Al-Quran, beliau membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Rasyad Khalifa, seorang pakar biokimia Mesir-Amerika, yang berisi fakta-fakta empiris bahwa jumlah huruf dan kata dalam Al-Quran saling bersesuaian satu sama lain dengan berbagai fakta di alam semesta. Misalnya kata ‘hari’ disebut dalam Al-Quran sebanyak 365 kali, sama dengan jumlah hari dalam setahun. Kata ‘bulan’ disebut sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Kata ‘laki-laki’ disebut sebanyak 23 kali, sama dengan jumlah kata ‘perempuan’ juga 23 kali ; dan itu sama dengan jumlah kromosom yang ada pada tubuh manusia, yaitu 46 buah atau 23 pasang. (Hasil penelitian tersebut terangkum dalam buku “Computer Speaks: God’s Message to the World”, 1981).

Di akhir tausiahnya, Pak Mutahar membagikan kepada semua hadirin selembar kertas kecil bertuliskan nyanyian shalawat yang mengandung puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Pak Mutahar mengatakan, ibarat radio transistor zaman dahulu, semua kita ini sebetulnya adalah receiver, penangkap gelombang, penerima pesan. Sebagai penerima pesan, kita harus menyamakan frekuensi ‘gelombang radio’ kita dengan sang pemberi pesan. Ada orang yang sudah melenceng terlalu jauh, sehingga frekuensinya tak lagi sama dengan sang pemberi pesan. Jadilah orang ini tak lagi bisa menerima pesan apa pun. Sebagian dari kita ada pula yang sudah hampir nyambung, tapi masih belum dapat menangkap dan menyampaikan isi pesan itu secara sempurna. Istilah Pak Mutahar, bunyinya masih krosak-krosok, karena receiver-nya kotor, belum dibersihkan. Receiver yang paling bersih, kata beliau, adalah Rasulullah Muhammad SAW, yang dapat dengan sempurna menerima pesan berupa wahyu dari Allah ; wahyu yang kemudian disampaikan secara sempurna pula kepada kita segenap umatnya.

Pak Mutahar lantas mencontohkan lagu shalawat itu, lalu semua yang hadir pada saat itu mengikuti bersama-sama. Berkumandang shalawat di aula tertutup yang sederhana namun mulia itu. Sungguh hikmat. Bergetar hati. Entah apa yang berkecamuk dalam batin Pak Mutahar ketika itu. Beliau tak kuasa menahan tangis. Turun dari podium, satu per satu kami menyalami beliau dan berpelukan penuh haru. Sungguh malam itu menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi kami bersama Pak Mutahar, sang komposer ulung itu.

Satu lagi kenangan yang tak terlupakan tentang beliau terjadi pada awal Juni 2004, tepatnya hari Kamis tanggal 10. Siang itu di sekolah tempat saya mengajar sedang dipersiapkan latihan para siswa untuk acara wisuda. Sebagai guru musik, saya bertugas merancang dan melatih tampilan-tampilan musik. Salah satu yang kami rencanakan adalah Choir (Paduan Suara) siswa bersama para wisudawan akan menyanyikan lagu “Syukur” secara lengkap, yakni sepanjang 3 stanza. Saya dan anak-anak sudah sepakat untuk berlatih siang itu menjelang pulang sekolah. Namun hingga siang hari saya belum juga berhasil menemukan file lengkap lagu itu yang seingat saya dulu pernah tersimpan. Waktu itu karena belum familiar dengan internet, akhirnya saya menelepon Pak Mutahar dengan niat untuk mendapatkan stanza ke-2 dan ke-3 lagu itu. Tak disangka, apa yang saya dapatkan adalah kabar duka cita dari salah seorang anak angkat beliau yang ketika itu mengangkat telepon di ujung sana.

“Pak Mutahar sudah nggak ada, Pak !” kata beliau. “Haa.. sudah nggak ada ? Meninggal ? Yang bener, Pak ? Kapan ?” tanya saya. “Betul, Pak. Kemarin sore. Ini sebentar lagi akan berangkat ke pemakaman,” lanjutnya. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un..” Allahummaghfir lahu warhamhu..

Selamat jalan, Pak Mutahar, ‘Pak Hari Merdeka’ ! Berkat lagu Bapak, kami tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia ; kami tetap setia, tetap sedia, membela negara kita. Cibinong, Agustus 2022

Syamsul Rizal Ikhwan

(Guru dan Praktisi Musik)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image