Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Makna Hijrah dan Momentum Peringatan Kemerdekaan

Eduaksi | Wednesday, 17 Aug 2022, 22:21 WIB

Penyusun: Dr. Hery Wibowo, S.Psi., MM

Bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 2022, tepatnya Rabu malam pukul 20.00, Mesjid Raya Unpad mengadakan Webinar Kajian Keagamaan dengan tema Momentum Peringatan Tahun Baru Hijriah dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia untuk Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia yang Unggul dan Maslahat Demi Kemajuan Bangsa.

Nara sumber utama dalam agenda ini adalah mantan Rektor Universitas Padjadjaran kesebelas yaitu Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr dan bertindak sebagai Moderator adalah Ketua Umum Pengelola Mesjid di lingkungan Universitas Padjadjaran, Dr. Hadiyanto A. Rachim, S.Sos., M.I.Kom.

Acara berlansung interaktif dan bersifat komunikasi dua arah, dimana para peserta memiliki cukup banyak kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapatnya maupun berdiskusi dengan nara sumber.

Prof Tri menegaskan bahwa “Sangat penting bagi setiap umat Islam selalu dan setiap waktu untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, yang tidak pernah berhenti memberikan nikmat kepada manusia. Secara khusus, nikmat yang perlu selalu harus disyukuri adalah nikmat kemerdekaan, khusunya kemerdekaan bangsa. Melalui kemerdekaan bangsa maka setiap pemerintahan negara memiliki keleluasaan dalam mengatur negaranya, dan setiap warga negara punya kebebasan untuk beribaha, belajar, berkinerja dan berkontribusi untuk lingkungannya”.

Selanjutnya Prof Tri menegaskan bahwa momentum hijrah Rasulullah Shallallahu wa ‘alaihi wa sallam adalah peristiwa ‘kemerdekaan’ dalam bentuk yang lain. Hal yang penting adalah bukan hanya proses hijrahnya, yaitu berpindah dari kota Mekah ke kota Yastrib, yang kemudian menjadi Madinah. Proses ini, bukan sekedar merdeka dari gangguan masyarakat yang menolak dakwahnya, namun lebih jauh dari itu, momentum hijrah memberikan kesempatan lebih besar untuk bergerak, berdakwah dan membangun peradaban.

Sehingga isu utamanya adalah “apa dan bagaimana” agenda pasca hijrah ini. Seperti dapat dipersaksikan oleh dunia bahwa “impact” dari hijrahnya Rasulullah ke Madinah sangat terasa dalam beragam dimensi, baik kemanusiaan, politik, budaya, peradaban, pemerintahan dan lain-lain. Ragam hal yang belum pernah terpikirkan oleh umat manusia sebelumnya, hadir secara bertahap dan komprehensif dari kota Madinah.

Kemerdekaan dalam hal ini adalah sesuatu yang besar dan diperjuangkan secara tidak mudah. Para pendiri bangsa Indonesia seyogianya memiliki cita-cita besar dari perjuangan memerdekaan bangsa. Maka, peringatan kemerdekaan, sejatinya bukan hanya ‘sekedar’ mengingat perjuangan para pahlawan, namun menjadikan momentum tersebut menjadi titik berangkat menuju stasiun visi selanjutnya. Pertanyaan pentingnya adalah “apa selanjutnya?” Ini merupakan pertanyaan universal yang setiap detik perlu didengungkan oleh warga negara. Apa dan bagaimanakah sebaiknya kemerdekaan diisi? Pada konteks pendidikan di perguruan tinggi, pertanyaannya menjadi lebih spesifik, yaitu “sudahkan para dosen terus mengembangkan pemikirannya, terkait hal apalagi yang harus saya lakukan untuk menghasilkan, bukan hanya luaran (output), tapi juga implikasi/dampak (impact) bagi kemaslahatan peserta didik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Nikmat kemerdekaan sejatinya mengajak individu untuk berpikir maslahat dan manfaat, atau dalam bahasa lain adalah impact atau implikasi positif yang dapat dirasakan oleh orang banyak. Sehingga melalui terminology yang berbeda isu utamanya adalah “bagaimanakah kemerdekaan itu memberikan manfaat positif yang dapat dirasakan oleh setiap warga negara, baik secara lahiriah maupun batiniah”.

Bagaimana momentum kemerdekaan membuahkan rasa optimis, semangat, keyakinan bahwa tidak ada yang dapat manusia lakukan tanpa ijin Allah Subhanahu wa ta’ala, keingingan untuk berprestasi, kebutuhan untu bermanfaat, tekad kuat untuk mewujudkan visi masa depan dan lain-lain.

Maka Perguruan Tinggi seyogianya menjadi lokomotif perubahan, dan pilot dari momentum hijrah dan kemerdekaan. Perguruan Tinggi adalah pencetak SDM Berkualitas, yang tidak boleh berhenti menghasilkan manusia yang semakin tinggi level edukasinya, sehingga mampu memberikan level manfaat yang jauh lebih besar. Para dosen pada khususnya dan para pendidik pada umumnya, dalam hal ini, tidak boleh patah semangat dalam mengejar jenjang pendidikan yang paling tinggi. Bukan untuk sombong, namun untuk memiliki legalitas yang lebih baik dalam memberikan kontribusi/manfaat bagi masyarakat berbasis bidang ilmu. Semakin tinggi jenjang keilmuan yang diraih, maka logikanya semakin besar potensi maslahat keilmuan yang dapat disebarluaskan kepada masyarakat.

Prof Tri menegaskan “Jangan terlarut dalam euphoria kemerdekaan saja, turunkan dalam langkah nyata untuk menghasilkan impact, ataupun maslahat yang nyata manfaatnya”. Maka, nikmat kemerdekaan bangsa, sebagai limpahan rahmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak boleh diingkari dan disia-siakan. Negara yang merdeka adalah kendaraan bagi warga negaranya untuk mengeluarkan kinerja terbaik, untuk berperilaku kontributif terbaik pada lingkungan sosial dan alam disekitarnya. Melalui kemerdekaan, maka setiap individu punya kesempatan yang seluas-luasnya untuk menghasilkan ragam prilaku baik dan bermanfaat sebagai wujud rasa bersyukurnya.

Makna hijrah dalam konteks yang lebih luas, adalah pada bagaimana Rasulullah Shallallahu wa ‘alaihi wasallam membangun ragam perabadan di kota Madinah (yang sering dinyatakan sangat maju pada jamannya). Bukan sekedar memaknai “kenapa dan kemana” hijrah, sehingga harus pergi ratusan kilo menuju kota yang baru, namun “bagaimana membangun pasca hijrah” tersebut. Sehingga bukan sekedar merayakan kemerdekaan, melainkan setelah kemerdekaan diraih, apa dan bagaimana mengisinya? Pada konteks mahasiswa, bukan sekedar ‘hijrah’ menjadi mahasiswa baru, namun “bagaimana” setelah menjadi mahasiswa.

Untuk mengupayakan hal ini, maka para pendidik sudah saatnya mendorong warga belajarnya untuk berpikir lebih luas dan di level yang lebih tinggi (high order thinking). Bukan sekedar mendorong mahasiswa untuk sekedar menghafal, memahami dan mempraktikkan, namun lebih jauh dari itu memberanikan mereka untuk menganalisis, mengevaluasi dan menciptakan hal-hal yang baru. Mengapa? Karena pembelajaran tranformatif (transformative learning), sejatinya adalah proses yang memberanikan peserta didik, untuk terus melakukan refleksi perjalanan belajarnya, memaknai langkah demi langkah yang telah ditempuhnya, serta kesediaan untuk memperbaiki kesalahannya. Sehingga bagi pembelajar transformatif, sejatinya setiap waktu (detik, menit, hari, bulan) adalah momentum hijrah untuk yang bersangkutan lebih memerdekakan pola pikirnya serta membumikan maslahat dari proses pendidikan yang ditempuhnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image