Kamis 18 Aug 2022 18:30 WIB

Uang Baru Diluncurkan, Kebutuhan Uang Kecil Menurun

Transaksi nontunai membuat kebutuhan uang pecahan kecil semakin menurun.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Fuji Pratiwi
Pemerintah dan Bank Indonesia meluncurkan tujuh pecahan Uang Rupiah Kertas Tahun Emisi 2022 (Uang TE 2022) pada hari ini, Kamis (18/8) di Jakarta. Uang TE 2022 yang diluncurkan hari ini terdiri atas pecahan uang Rupiah kertas Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000.
Foto: BI
Pemerintah dan Bank Indonesia meluncurkan tujuh pecahan Uang Rupiah Kertas Tahun Emisi 2022 (Uang TE 2022) pada hari ini, Kamis (18/8) di Jakarta. Uang TE 2022 yang diluncurkan hari ini terdiri atas pecahan uang Rupiah kertas Rp 100 ribu, Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebutuhan uang pecahan kecil seperti uang koin semakin menurun. Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia, Marlison Hakim menyampaikan, percetakan uang di Indonesia disesuaikan dengan perhitungan dan kebutuhannya.

"Untuk cetak uang logam dan kertas itu kami memiliki perhitungannya, dan uang kecil koin itu memang kebutuhannya menurun," kata Marlison dalam Taklimat Media terkait Uang Kertas Rupiah Tahun Emisi 2022, Kamis (19/8/2022).

Baca Juga

Marlison mengatakan kebutuhan uang koin dulu sangat tinggi terutama untuk kebutuhan tol. Tapi seiring dengan adanya digitalisasi nontunai, kini uang koin sangat jarang digunakan lagi. Transaksi nontunai membuat kebutuhan uang pecahan kecil semakin menurun.

Meski kini nontunai terus digalakkan, kebutuhan uang kertas tetap tinggi terutama di wilayah-wilayah yang belum tersentuh digitalisasi. Sehingga percetakan uang pun terus dilakukan menyesuaikan kebutuhan dan teknologi terkini untuk meminimalisir pemalsuan.

Bank Indonesia dan Pemerintah baru saja meluncurkan tujuh uang pecahan baru bertepatan dengan perayaan Kemerdekaan ke-77. Terakhir, BI dan pemerintah meluncurkan uang baru pada 2016. Marlison mengatakan langkah tersebut merupakan dalam rangka penguatan rupiah.

"Kami selalu melakukan evaluasi atas penerbitan uang, dan kami mendapat banyak masukan dari berbagai elemen masyarakat, dan perlu dilakukan penguatan," kata dia.

Ia menyebutkan beberapa evaluasi seperti uang Rp 2.000 mirip dengan Rp 20 ribu. Masukan juga dari kelompok tunanetra yang masih sulit membedakan uang, muncul banyak teknologi baru pencetakan uang, hingga mengurangi upaya pemalsuan.

Sehingga tiga aspek penguatan yang dilakukan meliputi desain, keandalan unsur pengaman, dan ketahanan bahan uang. Uang baru yakni pecahan Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 5.000, Rp 10 ribu, Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, dan Rp 100 ribu. Uang tetap mempertahankan gambar utama baik bagian depan maupun belakang.

Meski demikian, ada cukup banyak perbedaan dengan uang emisi tahun 2016. Misalnya, warna menjadi lebih tajam dan colorfull meski tetap mempertahankan warna utama uang lama.

"Misalnya, uang Rp 100 ribu sudah identik warna merah, jadi kami pertahankan tapi ada unsur colorfull yang melambangkan kebhinekaan," katanya.

Selain itu, semakin besar pecahan uang maka ukurannya semakin besar. Marlison mengatakan BI menggunakan perbedaan ukuran rata-rata uang kertas di dunia yakni lima milimeter. Kemudian, watermark uang kini seragam dengan gambar utamanya.

Standar desain dan tata letak unsur benang pengaman juga kini diseragamkan. Dari sisi menyulitkan pemalsuan, kini uang menggunakan benang pengaman teknologi terkini sebagaimana best practice internasional yakni microlense dan tinta berubah warna berfitur magnetic ink.

Ada juga penguatan unsur pengaman ultraviolet yang menunjukan keragaman warna. Uniknya, jika ditampilkan di bawah UV, akan muncul peta Indonesia yang menunjukkan asal dari pahlawan yang ada pada gambar utama.

Penggunaan teknologi pelapisan juga digunakan pada pecahan kecil Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. Teknologi ini mirip seperti yang digunakan pada uang Rp 75 ribu. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement