DPR Periode 2019-2024 Telah Membahas 43 UU Sejak Dilantik

Politik legislasi DPR dan pemerintah mengutamakan kualitas daripada kuantitas UU

Senin , 22 Aug 2022, 09:58 WIB
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, pembentukan undang-undang merupakan pekerjaan kolektif yang ditempuh melalui pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah. (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, pembentukan undang-undang merupakan pekerjaan kolektif yang ditempuh melalui pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 telah menyelesaikan pembahasan 43 undang-undang sejak mereka dilantik pada 1 Oktober 2019. Adapun 32 di antaranya telah diselesaikan pada Tahun Sidang 2021-2022.

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, pembentukan undang-undang merupakan pekerjaan kolektif yang ditempuh melalui pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah. Pihaknya lebih mengutamakan kualitas pembahasannya, ketimbang kuantitasnya.

Baca Juga

"Politik legislasi DPR RI dan pemerintah mengutamakan kualitas daripada kuantitas undang-undang tersebut," ujar Puan dalam pidatonya di Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang I Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (16/8/2022).

Karena mengutamakan kualitas tersebut, dibutuhkan komitmen bersama dari DPR dan pemerintah. Tujuannya agar pemenuhan kebutuhan hukum nasional dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

"Dalam pembahasan membentuk undang-undang, DPR RI dan pemerintah dituntut agar selalu cermat dan mempertimbangkan berbagai pendapat, pandangan, kondisi, situasi, kebutuhan hukum nasional. Serta membuka ruang partisipasi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya," ujar Puan.

DPR, jelas Puan, dipastikan memenuhi prinsip transparansi publik dalam pembentukan dan pembahasan undang-undang. Harapannya, undang-undang yang dihasilkan akan memiliki keselarasan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

Selain fungsi legislasi, DPR juga memiliki tugas konstitusional yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap kinerja pelaksanaan undang-undang yang dilaksanakan pemerintah. Fungsi tersebut diarahkan agar kebijakan dan program pemerintah dilaksanakan untuk dapat memajukan kesejahteraan rakyat.

"DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan akan memberikan perhatian yang besar terkait dengan berbagai permasalahan yang menjadi perhatian rakyat," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Sebanyak 11 alat kelengkapan dewan (AKD) DPR telah menyelesaikan pembahasan dari 43 undang-undang. Terdiri dari Komisi I (dua undang-undang), Komisi II (16 undang-undang), Komisi III (empat undang-undang), Komisi V (satu undang-undang), Komisi VI (tiga undang-undang), dan Komisi VII (satu undang-undang).

Selanjutnya, Komisi X (dua undang-undang), Komisi XI (empat undang-undang), Badan Legislasi (enam undang-undang), dan Badan Anggaran (satu undang-undang). Terakhir adalah panitia khusus (tiga undang-undang).

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, pihaknya selalu berusaha menjalankan fungsi legislasinya sebaik mungkin. Khususnya dalam menuntaskan daftar RUU yang terdapat dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2022.

Kendati demikian, ia mengatakan bahwa kinerja legislasi DPR yang dilihat dari jumlah undang-undang yang dihasilkan adalah persepsi yang keliru. Pasalnya, target berdasarkan sesuatu yang bersifat kuantitatif hanya akan memunculkan sikap kejar target yang mendiskreditkan kualitas dari produk hukum yang dihasilkan.

"DPR ditakar kinerjanya dengan berapa jumlah produk undang-undang yang disahkan, bukan seberapa sengit sebuah UU diperdebatkan, cara pandang kejar tayang jadi tak terelakkan. Jika pada periode tertentu DPR tidak mencapai target prolegnasnya, ia dianggap gagal atau tidak bekerja dengan baik," ujar Willy.

Namun, ia tak dapat menampik bahwa DPR memang identik sebagai lembaga legislasi, di mana produk hukum untuk dibuat bersama pemerintah. DPR akan menjadi terus menjadi pihak yang berusaha merumuskan sebuah undang-undang yang bermanfaat untuk kehidupan bernegara.

Adapun Baleg, tegas Willy, terus memprioritaskan kualitas dalam membahas sebuah RUU. Keterbukaan dan transparansi kepada publik menjadi salah satu komitmen pihaknya dalam setiap pembahasannya.

"Baleg telah berkomitmen bahwa setiap pembahasan UU akan selalu terbuka bagi publik. Keterbukaan itu diwujudkan dalam bentuk siaran langsung saat sebuah RUU dibahas," ujar Willy.

Berdasarkan data dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), DPR telah mengesahkan sebanyak 11 rancangan undang-undang (RUU) pada Masa Sidang V Tahun Sidang 2021-2022. Kesebelas RUU tersebut adalah RUU Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU tentang Provinsi Sumatera Barat, RUU tentang Provinsi Riau, RUU tentang Provinsi Jambi, RUU tentang Nusa Tenggara Barat, dan RUU tentang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Selanjutnya, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, dan RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi. Terakhir adalah RUU tentang Pemasyarakatan.

"Dinamika pembahasan RUU pada Masa Sidang V bisa dikatakan cukup produktif, jika melihat total RUU yang akhirnya bisa disahkan oleh DPR. Tercatat ada 11 RUU yang berhasil disahkan pada Masa Sidang V lalu," ujar peneliti Formappi, Lucius Karus.

Meskipun terhitung produktif, hanya tiga RUU yang berasal dari Prolegnas Prioritas 2022. Delapan RUU lainnya merupakan RUU kumulatif terbuka yang semuanya terkait undang-undang tentang provinsi.

Ia berharap, DPR periode 2019-2024 terus meningkatkan kuantitas, kualitas, dan transparansinya dalam pembahasan RUU. Hal tersebut diperlukan, karena parlemen adalah lembaga yang merumuskan dan mengesahkan produk hukum yang berdampak langsung kepada masyarakat.

"Di masa mendatang komisi-komisi perlu lebih transparan lagi. Kinerja yang membaik juga ditunjukkan oleh badan-badan DPR, pun sama halnya dengan komisi," ujar Lucius.