Senin 22 Aug 2022 19:17 WIB

Instrumen Keuangan Syariah Semakin Kontributif untuk Investasi Hijau

Kemenkeu meyakini instrumen keuangan syariah sangat relevan dengan investasi hijau

Rep: Lida puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Dwi Irianti Hadiningdyah (kanan). Instrumen keuangan syariah terus didorong untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan hijau.
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Dwi Irianti Hadiningdyah (kanan). Instrumen keuangan syariah terus didorong untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan hijau.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Instrumen keuangan syariah terus didorong untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan hijau. Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dwi Irianti Hadiningdyah mengatakan instrumen keuangan syariah, khususnya sukuk, sangat relevan dengan investasi hijau.

"Sejak kita terbitkan sukuk hijau global terbesar pada 2018, investor semakin menyadari bahwa instrumen syariah bisa diterbitkan dalam format green, investor baru paham green dan format sukuk ini sangat-sangat similar dan dekat," katanya dalam Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) Kementerian Keuangan 2022, Senin (22/8).

Dwi mengatakan, Indonesia saat ini sudah jadi trend setter untuk penerbitan dan pengelolaan sukuk hijau secara global. Dengan 45 penghargaan internasional untuk pengakuan tersebut, Indonesia sekaligus mendorong literasi investasi syariah dan hijau pada level pasar global.

Di ranah domestik, pemerintah juga mendorong gaya hidup hijau masyarakat, khususnya generasi muda. Maka dari itu, pemerintah juga terbitkan sukuk hijau ritel melalui seri Sukuk Tabungan untuk sarana literasi dan praktik investasi hijau sejak 2019.

"Kita akan terbitkan lagi nanti Oktober seri Sukuk Tabungan yang hijau, sehingga sampai sekarang kita sudah terbitkan sukuk hijau global, sukuk proyek, sosial sukuk (CWLS), dan saya berpikir untuk nanti kita buat juga kombinasi sukuk sosial hijau yang manfaatnya akan lebih besar," katanya.

Sejak menerbitkan sukuk pertama pada 2008, total penerimaannya sudah mencapai lebih dari Rp 2.000 triliun. Namun jika dibandingkan dengan kebutuhan investasi hijau, nilainya masih sangat jauh.

Biaya kebutuhan untuk mengatasi perubahan iklim sendiri pada 2020-2030 itu mencapai Rp 3.779 triliun atau sekitar Rp 344 triliun per tahunnya. Meski demikian, pemerintah terus mendorong proyek sukuk yang langsung untuk kebutuhan hijau, khususnya proyek prioritas.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal Suminto menyampaikan, instrumen keuangan syariah memang jadi salah satu andalan untuk memenuhi kebutuhan investasi hijau. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan dua produk green sukuk yakni green sukuk ritel dan green sukuk global.

"Pembiayaan hijau didorong karena relevan dengan salah satu isu strategis yang didorong Indonesia dalam Presidensi G20," katanya.

Indonesia berkomitmen untuk mainstreaming pembangunan berkelanjutan secara global dan menurunkan emisi karbon. APBN sendiri mengalokasikan sekitar 4,1 persen setiap tahunnya untuk anggaran perubahan iklim atau sekitar Rp 96,7 triliun.

Dari sisi instrumen syariah, hingga saat ini tiga sukuk ritel hijau diantaranya ST006, ST007, dan ST008 telah mencapai total nilai penerbitan Rp 11,86 triliun. Sementara sukuk hijau global telah diterbitkan pada 2018 dan 2021 dengan total nilai penerbitan 3,5 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement