Kamis 25 Aug 2022 06:50 WIB

Serikat Pekerja Myanmar Hadapi Kepunahan Setelah Kudeta Militer

Saat ini secara efektif tidak ada lagi serikat pekerja di Myanmar.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolandha
Orang-orang berbaris untuk memprotes pengambilalihan militer Februari, di Yangon, Myanmar, pada 11 April 2021. Serikat pekerja Myanmar dan organisasi masyarakat sipil menghadapi ancaman kepunahan di bawah pemerintahan militer, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tahun lalu.
Foto: AP Photo
Orang-orang berbaris untuk memprotes pengambilalihan militer Februari, di Yangon, Myanmar, pada 11 April 2021. Serikat pekerja Myanmar dan organisasi masyarakat sipil menghadapi ancaman kepunahan di bawah pemerintahan militer, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Serikat pekerja Myanmar dan organisasi masyarakat sipil menghadapi ancaman kepunahan di bawah pemerintahan militer, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta tahun lalu. Menurut laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), sejumlah organisasi buruh dan kelompok masyarakat sipil lainnya telah menghadapi kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, penggerebekan, dan penyitaan.

Mereka juga menerima ancaman melalui panggilan telepon dan pengawasan sejak kudeta militer pada Februari 2021, yang dipimpin oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing. ILO mengatakan, mereka menjadi sasaran target oleh militer.

Baca Juga

“Penganiayaan yang ditargetkan terhadap kelompok-kelompok yang membantu pekerja dan migran telah secara substansial membatasi kemampuan mereka untuk beroperasi0, dan memaksa penyelenggara untuk membuat perubahan besar pada pekerjaan mereka untuk memastikan keamanan dan keselamatan mereka," kata pernyataan ILO, dilansir Aljazirah, Kamis (25/8/2022).

Seorang pemimpin serikat pekerja yang berbicara secara anonim dalam laporan tersebut mengatakan, saat ini secara efektif tidak ada lagi serikat pekerja di Myanmar. Karena tidak ada cara untuk mendaftarkan serikat pekerja secara legal.

"Serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil telah memberikan dasar bagi banyak kemajuan yang dicapai dalam meningkatkan perlindungan hak-hak buruh di Myanmar selama dekade terakhir. Keadaan saat ini merupakan ancaman nyata bagi keberadaan mereka,” kata wakil direktur regional ILO untuk Asia dan Pasifik, Panudda Boonpala.

“Masyarakat internasional harus mendukung organisasi-organisasi ini untuk membantu mereka bertahan dan melanjutkan pekerjaan vital mereka," lanjut Boonpala.

Dalam laporan tersebut, ILO melakukan wawancara dengan 21 serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil. ILO merekomendasikan agar organisasi internasional menyederhanakan atau mengurangi persyaratan pelaporan dan uji tuntas, untuk memungkinkan “pendanaan yang lebih besar dan lebih tidak terbatas” bagi organisasi yang menghadapi penganiayaan.

Myanmar telah dilanda ketidakstabilan dan kekerasan sejak militer menggulingkan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis. Bank Dunia memperkirakan ekonomi negara itu akan tumbuh tiga persen tahun ini, setelah mengalami kontraksi 18 persen pada 2021.

Awal bulan ini, ILO memperkirakan, Myanmar memiliki 1,1 juta pekerjaan lebih sedikit daripada sebelum pandemi Covid-19 dan kudeta. Sejauh ini Dewan Administrasi Negara militer Myanmar tidak memberikan komentar atas persoalan tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement