Gobel: DPR Dukung Presiden Soal APBN untuk Produk Dalam Negeri

Indonesia harus menjaga devisa, melakukan hilirisasi, dan menguatkan UMKM.

Kamis , 25 Aug 2022, 11:05 WIB
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mendukung dan mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo tentang keharusan dana APBN untuk belanja produk dalam negeri. (ilustrasi).
Foto: istimewa
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mendukung dan mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo tentang keharusan dana APBN untuk belanja produk dalam negeri. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mendukung dan mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo tentang keharusan dana APBN untuk belanja produk dalam negeri.

“Untuk produk yang sudah diproduksi di dalam negeri maka belanja APBN, APBD, dan belanja BUMN/BUMD harus untuk produk dalam negeri. Ini akan memberikan efek yang bagus bagi kemajuan dan kemakmuran rakyat Indonesia,” katanya, Kamis (25/8/2022).

Baca Juga

Saat memberikan pidato pengarahan di acara Kadin Indonesia, Selasa (23/8/2022), di TMII, Presiden mengeluhkan perilaku pejabat yang masih menggunakan dana APBN, APBD, dan BUMN untuk belanja impor produk-produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Presiden bahkan menyebutnya sebagai “bodoh banget”.

Menurut presiden, pengusaha juga harus paham tentang kondisi geopolitik global akibat krisis dan konflik. Hal itu berdampak pada pasokan dan harga pangan maupun energi. Sehingga diprediksi akan ada negara-negara yang bisa tumbang.

Karena itu, kata Presiden, Indonesia harus menjaga devisa, melakukan hilirisasi, dan menguatkan UMKM. Menurutnya, ada sekitar 842 produk di dalam e-Katalog yang harus didrop karena sudah dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri. “Sangat lucu sekali. APBN yang kita collect dari pajak, dari PNBP, dari royalti, masuk ke APBN, kemudian keluar sebagai belanja pemerintah, tapi yang dibeli barang impor. Bodoh banget kita ini kalu terus-teruskan seperti itu,” kata Presiden, seperti dikutip berbagai media.

Gobel mengatakan, Presiden sudah berkali-kali menyampaikan pesan tersebut. “Hal itu harus dilaksanakan oleh para bawahannya. Para menteri harus melakukan koordinasi agar belanja dana negara, termasuk belanja BUMN dan BUMD, tersalurkan ke produk dalam negeri. Selain itu, bisa mendorong para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia,” katanya.

Koordinasi itu, katanya, untuk mewujudkan arahan Presiden tentang belanja produk dalam negeri dan juga sekaligus melakukan hilirisasi serta merumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar investor bisa membangun industri di Indonesia.

Lebih lanjut Gobel menyatakan, angka 842 produk di e-Katalog itu merupakan jumlah yang besar. Sebagai industriawan, ia mencermati ada sejumlah produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri tapi kemudian lebih banyak menggunakan produk impor seperti besi dan baja, alat-alat kesehatan, elektronika, lampu, dan sebagainya.

“Dengan menghentikan impor maka hal itu akan mendorong produsennya untuk membuka industrinya di Indonesia,” katanya.

Hal ini, katanya, akan membuka lapangan kerja, menghidupkan UMKM yang menjadi penopang dari setiap industri, menciptakan ekosistem dari suatu rumpun bisnis, dan sebagainya. “Ini artinya ada transfer of skill, transfer of knowledge, transfer teknologi, dan tentu saja membangun kemakmuran rakyat, membangun pemerataan ekonomi. Juga membangun kualitas sumberdaya manusia. Ini poin-poin strategis dari penggunaan produk dalam negeri. Bukan sekadar transaksi ekonomi, tapi membangun peradaban Indonesia,” katanya.

Dalam kerangka membangun Indonesia yang lebih baik itulah, kata Gobel, pemerintah juga harus secara serius membangun industri yang ramah lingkungan. “Ini juga terkait dengan target FOLU Net Sink 2030 yang sudah ditetapkan pemerintah. Ini masalah realisasi komitmen industri dalam penyerapan karbon, baik itu dalam hal prosesnya, bahan bakunya, maupun pada carbon trade nya. Perlu ada pemihakan dari pemerintah terhadap industri yang ramah lingkungan dengan memberikan prioritas maupun insentif-insentif lainnya,” katanya.

Menurutnya, industri yang tak ramah lingkungan akan menimbulkan masalah sosial dan kesehatan. “Ujungnya menurunkan kualitas sumberdaya manusia dan menyedot dana APBN juga karena lingkungan yang kotor dan masyarakat yang didera penyakit,” katanya.

Saat ini, kata Gobel, dunia sedang didera pemanasan global akibat pelepasan karbon yang berlebihan. Hal ini kemudian berdampak terhadap kenaikan permukaan air laut, perubahan iklim, maupun bocornya lapisan ozon. “Sehingga timbul bencana di mana-mana, terganggunya pertanian, maupun lahirnya dan meningkatnya beragam penyakit. Jadi industri yang ramah lingkungan itu soal yang sangat serius dan harus diafirmasi,” katanya.