Ahad 28 Aug 2022 01:07 WIB

Kenaikan Tarif Ojol Hingga Krisis Energi Picu Peningkatan Inflasi

Kalau konsumsi rumah tangga melambat dipastikan pertumbuhan ekonomi juga melambat

Red: Budi Raharjo
acara diskusi yang membahas topik
Foto: .
acara diskusi yang membahas topik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan tarif ojek online (ojol) yang segera berlaku akhir bulan ini masih menuai pro-kontra. Besaran kenaikan yang berkisar 30-50 persen dinilai terlalu tinggi dan bisa membuat pelanggan ojol lari. 

Ekonom RISED dari Universitas Airlangga, Rumayya Batubara, mengatakan wacana kenaikan tarif ojol sebesar itu akan berdampak terhadap pengurangan jumlah masyarakat yang menggunakan ojek online. Berdasarkan riset yang telah dilakukan kepada 1.000 pengguna ojol di tiga wilayah zona yang akan mengalami kenaikan, terdapat 53,3 persen pengguna menyatakan akan kembali menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan ojol. 

"Dari 1.000 konsumen yang kita riset, sebanyak 53,3 persen responden menyatakan akan balik menggunakan kendaraan pribadi," ujarnya dalam sebuah acara diskusi yang membahas topik 'Mencari Titik Tengah Polemik Kenaikan Tarif Ojek Online' di Jakarta, Sabtu (27/8/2022). 

Rumayya melanjutkan, dari 53,3 persen responden tersebut menyatakan kenaikan tersebut akan membebani mereka jika dibandingkan menggunakan kendaraan pribadi. Sebelum adanya wacana kenaikan tersebut, 57 persen responden menyatakan dapat menghemat biaya pengeluaran mereka dalam memenuhi kebutuhan makanan sebesar Rp 11.000-Rp 40.000 per hari. 

"Dari riset itu, kita tanya dengan menggunakan ojek apakah ada penghematan dalam kebutuhan makan? Dari 57 persen responden menyatakan mengalami penghematan biaya transportasi sebanyak Rp11.000-40.000 per hari jika dibandingkan hari berangkat sendiri," ujarnya. 

Kenaikan tarif ojol juga bisa memicu inflasi, di samping faktor lain seperti krisis energi dan pangan. Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, ada dua faktor yang mempengaruhi inflasi menjadi lebih tinggi. 

Pertama faktor eksternal, yakni krisis energi dan pangan yang sedang berlangsung saat ini di beberapa negara di dunia hingga menyebabkan harga komoditas naik. Kedua, kebijakan pemerintah atau aturan yang ikut andil berkontribusi mengerek inflasi. 

"Ada beberapa aturan atau kebijakan yang memang kita rasa ikut andil dalam menaikkan tingkat inflasi. Ada harga-harga yang diatur oleh pemerintah, misalkan kenaikan tarif pesawat," katanya. 

"Kemudian, ada beberapa barang yang diatur oleh pemerintah seperti listrik, BBM subsidi dan sebagainya yang akhirnya naik dan mengerek inflasi juga," ujar Nailul menambahkan.

Selain itu, kata dia, daya beli masyarakat akan menurun dan itu akan berdampak kepada konsumsi rumah tangga. Sedangkan konsumsi rumah tangga dalam pembentuk produk domestik bruto (PDB) mencapai 50 persen. "Jadi bisa dibayangkan kalau konsumsi rumah tangga melambat sudah bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi kita juga akan melambat," kata dia. 

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 4 Agustus lalu mengumumkan kenaikan tarif ojol. Lewat Keputusan Menteri No 564/2022, Kemenhub menaikkan tarif minimum di tiga zonasi dan tarif per kilometer di Jabodetabek. Tarif yang awalnya akan diberlakukan pada 15 Agustus 2022, pelaksanaannya diundur menjadi 29-30 Agustus 2022 karena dibutuhkan masa sosialisasi yang lebih panjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement