Ahad 28 Aug 2022 10:11 WIB

Pakar Hukum Unsoed: Pemberantasan Perjudian Jangan Tarik Ulur

Pemberantasan judi jangan hanya gencar saat ada perintah dari Kapolri.

Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah tersangka kasus judi daring dan konvensional digiring anggota Ditreskrim Polda Banten saat ekspos di Serang, Banten, Kamis (25/8/2022). Jajaran Polda Banten berhasil menangkap 89 orang tersangka pelaku perjudian, dua orang bandar dan seorang pengelola situs judi online.
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Sejumlah tersangka kasus judi daring dan konvensional digiring anggota Ditreskrim Polda Banten saat ekspos di Serang, Banten, Kamis (25/8/2022). Jajaran Polda Banten berhasil menangkap 89 orang tersangka pelaku perjudian, dua orang bandar dan seorang pengelola situs judi online.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO  -- Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho mengharapkan tak adanya tarik-ulur oleh Polri dalam pemberantasan tindak pidana perjudian. Karena fenomena ini seperti sudah biasa.

"Fenomena itu (tarik-ulur, red.) sudah biasa," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu.

Baca Juga

Padahal, kata dia, dalam penegakan hukum, khususnya yang berkaitan dengan perjudian, baik judi darat atau konvensional maupun judi secara daring harus secara masif. Dengan demikian, lanjut dia, jangan sampai pemberantasan terhadap tindak pidana perjudian tersebut secara tarik-ulur.

"Rupanya sekarang itu sepertinya tarik-ulur, hukum dipakai sebagai sarana tarik-ulur. Begitu ada keinginan dari pimpinan tertinggi, langsung tarik," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu.

Akan tetapi, kata dia, begitu tidak ada perintah lain diulur lagi sehingga kadang-kadang hal itu membuat masyarakat kurang respek terhadap pemberantasan perjudian. "Ini penuh tantangan. Sekarang tinggal politik hukum dari penegak hukum seperti apa?" kata Prof. Hibnu.

Dalam hal ini, kata dia, apakah penegak hukum akan membasmi seluruhnya ataukah hanya sebagian tidak dibasmi secara keseluruhan.

Namun, dari segi ilmu sosial, lanjut dia, yang namanya perjudian itu tidak pernah selesai.

"Perjudian seperti halnya prostitusi. Itu sudah termasuk penyakit masyarakat, dan sekarang tinggal komitmen dari penegak hukum apakah tarik kencang ataukah tidak," katanya.

Prof Hibnu juga menyayangkan dalam pemberantasan perjudian seolah tidak ada persamaan di depan hukum (equality) karena sering kali yang dicari adalah pemainnya, bukan bandar atau penyelenggaranya.

"Kalau toh penyelenggara, hanya penyelenggara tingkat middle (menengah, red.), bukan tingkat utama. Ini bagian yang sering kita lihat, pemberantasan tidak equal (setara, red.) terhadap semua, apakah itu pemain, penyelenggara, ataukah bandar," katanya.

Terkait dengan Konsorsium 303 yang menyeret nama Inspektur Jenderal Polisi Ferdy Sambo, dia mengakui kasus jaringan perjudian daring itu sempat dianggap oleh masyarakat sebagai pengalihan isu atas kasus utama yang melibatkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri tersebut.

Dalam hal ini, kata dia, ada rumor terkait dengan Konsorsium 303 yang diduga melibatkan Ferdy Sambo dan sejumlah perwira Polri. Menurut dia, rumor merupakan suatu hal yang bisa dipercaya atau tidak bisa dipercaya.

Bahkan, sampai menjadi pembicaraan di lembaga politik, termasuk DPR RI, lanjut dia, masyarakat pun menjadi percaya terhadap rumor tersebut.

"Ini menjadikan kita semua bahwa ternyata sebetulnya itu benar atau tidak. Akan tetapi, kalau (pembahasan rumor itu) sampai pada tingkatan lembaga tinggi negara, itu berarti ya ada dugaan ada kebenarannya," kata Prof. Hibnu.

Kendati demikian, dia mengingatkan kepada Polri untuk tetap masif dan tidak tarik-ulur dalam pemberantasan perjudian agar tindak pidana tersebut bisa benar-benar hilang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement