Selasa 30 Aug 2022 16:35 WIB

Komisi II DPR Paparkan Tiga Masalah dalam RUU Papua Barat Daya

Komisi II DPR memaparkan tiga masalah dalam pemekaran Papua Barat Daya.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia. Komisi II DPR memaparkan tiga masalah dalam pemekaran Papua Barat Daya.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia. Komisi II DPR memaparkan tiga masalah dalam pemekaran Papua Barat Daya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi II DPR telah membentuk panitia kerja (Panja) pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Provinsi Papua Barat Daya. Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia Tandjung memaparkan, setidaknya ada tiga isu krusial dalam RUU tersebut.

Pertama adalah ibu kota dari Papua Barat Daya. Dalam draf yang disusun oleh Komisi II menuliskan bahwa ibu kotanya adalah Kota Sorong, tetapi terdapat aspirasi masyarakat di sana yang berharap agar Kabupaten Sorong ditunjuk sebagai ibu kota provinsi.

Baca Juga

"Jadi mereka itu pengennya agak di pinggir, itu ketemu di antara Tambrauw, Maybrat, sama Kabupaten Sorong, dan Sorong Selatan, tapi lokasinya itu di Kabupaten Sorong. Dan memang di Kota Sorong itu sudah tidak ada lahan lagi untuk membangun pemerintahan baru," ujar Doli dalam rapat pembahasan RUU Papua Barat Daya, Selasa (30/8).

Kedua adalah terkait cakupan wilayah. Dalam draf yang disusun oleh Komisi II, Provinsi Papua Barat Daya mencakupi Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Maybrat.

Tersisa dua kabupaten, yakni Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana yang diperdebatkan masuk ke dalam Provinsi Papua Barat Daya atau tetap berada di Papua Barat. Pasalnya, masyarakat yang berada di dua kabupaten tersebut juga terbelah pilihannya.

"Saya kemarin berkesempatan abis dari Sorong berkunjung ke Kabupaten Fakfak, ketemu dengan masyarakat di sana, kepala suku, dan raja-raja. Mereka kurang berkenan untuk bergabung di Papua Barat Daya," ujar Doli.

Terakhir adalah permasalahan yang berada di Kabupaten Tambrauw. Ia menjelaskan, pada pemilihan kepala daerah yang lalu terdapat istilah 'meminjamkan' distrik dari Kabupaten Manokwari kepada Kabupaten Tambrauw.

Setelah pemilihan kepala selesai, empat distrik yang dipinjamkan Kabupaten Manokwari  kemudian terpecah dan menjadi 11 distrik. Namun, 11 distrik itu disebut masih berada dalam pinjaman Kabupaten Tambrauw.

"Ini agak aneh, lebih lucu lagi istilahnya check in dan check out, bener Pak Mardani. Jadi mereka datang ke sini, jadi dulu itu mungkin ada kepentingan pemilihan kepala daerah, jadi ada perjanjian check in yang nanti sewaktu-waktu akan bisa check out. Empat distrik dari Kabupaten Manokwari dicheck in kan ke Tambrauw," ujar Doli.

"Jadi masalahnya itu, makanya kita bingung juga ini otonomi daerah ada istilah check in dan check out. Sebenarnya urusan check in check out ini sepertinya, kalau saya tidak ada hubungannya dengan pembentukan provinsi, tapi ini jadi PR kita," sambungnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement