Jumat 02 Sep 2022 20:15 WIB

Tidak Ditahannya Putri Candrawathi Picu Polemik, Ini Saran ICJR

Dalam KUHAP saat ini, kewenangan penahanan tersangka hanya bergantung pada penyidik.

Red: Andri Saubani
Tersangka istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi saat mengikuti rekonstruksi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jalan Duren Tiga Utara I, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Hingga kini, Bareskrim Polri tidak menahan Putri Candrawathi dengan alasan kemanusiaan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Tersangka istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi saat mengikuti rekonstruksi di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jalan Duren Tiga Utara I, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Hingga kini, Bareskrim Polri tidak menahan Putri Candrawathi dengan alasan kemanusiaan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mendorong pemerintah untuk segera merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait dengan penahanan tersangka tindak pidana. Usulannya ini, bercermin dari perdebatan publik tentang penyidik yang belum menahan Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo.

"Kita seharusnya bisa bersepakat bahwa KUHAP sudah tak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel, salah satunya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum utamanya penyidik," kata Erasmus, Jumat (2/9/2022).

Baca Juga

Dalam kerangka hukum KUHAP saat ini, menurut Erasmus, banyak permasalahan dalam hukum penahanan. Antara lain, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya bergantung pada aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik.

"KUHAP harus direvisi guna pastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan. Salah satunya menguji kebutuhan untuk menahan/tidak secara akuntabel, tidak hanya pertimbangan penyidik semata," ucapnya.

Kedua, lanjut dia, KUHAP tidak memberikan kewajiban aparat penegak hukum untuk bagaimana secara objektif mengurai terpenuhinya syarat-syarat penahanan. Pendekatan penyidik dalam menentukan penahanan ini, menurut dia, adalah dengan pendekatan kewenangan. Dalam hal ini, terdapat pemahaman bahwa penyidik telah memiliki kewenangan penahanan sehingga tidak perlu adanya uraian lagi.

"Dengan sistem tanpa hakim pemeriksa seperti saat ini, penyidik tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel," kata Erasmus.

Permasalahan ketiga, KUHAP tidak mengakomodasi pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya. Erasmus berpandangan seharusnya ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan nonrutan, yang justru tidak diefektifkan di Indonesia, dan juga untuk tersangka/terdakwa dengan kerentanan tertentu misalnya ibu, perempuan hamil, dan lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan.

"Hal ini berdasarkan pertimbangan hak asasi manusia harus menjadi acuan penilaian ketika penyidik akan menahan atau tidak," kata Erasmus.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement